REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR), Erwin Natosmal Oemar menilai kasus suap yang baru saja diungkap KPK sebagai bentuk ketidakberesan proses penganggaran dana publik. Proses penganggaran dana yang tidak transparan menjadi bukti tidak sejalan dengan sistem hukum.
Padahal, Erwin mengatakan penganggaran dana publik merupakan titik rawan terjadinya potensi korupsi atau suap. Ia melihat prosesnya saat ini bisa menjadi permasalahan serius.
"Kasus suap yang baru saja diungkap KPK ini menunjukkan ada permasalahan serius akibat penganggaran dana publik. Proses penganggaran ini masih belum sepenuhnya pro pada sistem hukum," katanya kepada ROL, Sabtu (20/6) malam.
Menurutnya, proses penganggaran yang tertutup menjadi potensi terbesar terjadinya korupsi. Apalagi jika pejabat kemudian tergiur dengan bujukan suap untuk menyalahgunakan kewenangan dalam proses penganggaran dana.
Kata dia, tentunya sangat memprihatinkan berbagai kasus korupsi sudah berhasil dibongkar KPK. Namun tampaknya pejabat tidak jera untuk ikut ambil bagian mencuri uang negara. Oleh karena itu perlu sistem hukum anti korupsi yang juga menekankan pada upaya pencegahan. Di mana salah satunya proses pengawasan yang harus semakin ditingkatkan.
Jumat (19/6) malam, KPK berhasil menangkap dua anggota DPRD Sumatera Selatan yang diduga terlibat kasus suap. Dalam operasi tangkap tangan (OTT) tersebut polisi menyita tas koper berisi uang senilai Rp 2,5 miliar.
KPK telah menetapkan empat tersangka yakni Ketua Komisi III DPRD dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Bambang Karyanto, anggota Komisi III fraksi Partai Gerindra Adam Munandar, Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Syamsudin Fei, serta Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Faisyar.