REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang dukun bertanya, “Siapa yang harus kita tanya?”. Nabi Ibrahim menjawab, “Tanyalah pada tuhan kalian.” “Bukankah engkau tahu Ibrahim, bahwa tuhan-tuhan itu tidak berbicara?”
“Jika kalian tahu tuhan kalian tidak mampu berbicara, lantas kenapa kalian menyembah sesuatu yang berbicara saja tidak mampu? sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan mudarat.. Tidakkah kalian berpikir di mana letak akal sehat kalian"
"Lihat., tuhan-tuhan kalian telah hancur, tuhan yang paling besar hanya bisa memandangi saja. tuhan kalian tidak bisa menghindari gangguan yang datang, maka bagaimana mereka mendatangkan kebaikan bagi kalian. Tidakkah kalian mau berpikir sebentar?"
"Kapak itu, ada dileher tuhan paling besar, tetapi anehnya dia tidak mau menceritakan apa yang terjadi. Dia juga tidak mempu berbicara, mendengar, tidak bergerak, tidak melihat, tidak memberikan manfaat, dan tidak membahayakan. Perhatikan, dia hanya sekadar batu, lantas kenapa manusia menyembah batu?”
Argumen Nabi Ibrohim tidak terbantahkan. Nabi Ibrohim, mampu menundukkan mereka dengan argumentasi dan logika berpikirmya yang sehat. Lantas, berhasilkah dakwa Nabi Ibrahim? Pergulatan pemikiran, nilai-nilai, serta prinsip-prinsip yang ada di tengah-tengah masyarakat tidak mudah dipatahkan.
Apalagi telah berpuluhan tahun diyakini. Meski telah berusaha keras, Nabi Ibrahim justru mendapatkan hukuman atas penghinaan yang dilakukannyang dilakukannya pada tuhan-tuhan mereka.
“Bakarlah Ibrahim dan tolonglah tuhan kalian, jika kalian benar-benar menyembah,” sebuah seruan datang dan mampu menggerakkan seluruh masyarakat untuk sepakat membakar Nabi Ibrohim hidup-hidup. Tersebarlah berita Nabi Ibrahim akan dibakar, keseluruh kerajaan dan seluruh pelosok negeri.
Nabi Ibrahim ditangkap, diikat tangan dan kakinya pada manjaniq (alat yang digunakan untuk melempar Nabi Ibrahim) dan isiapkan juga tempat pembakaran. Mereka menggali lobang besar yang dipenuhi kayu-kayu, batu-batu, dan batang-batang pohon. Lalu mereka menyalakan api yang sangat besar seakan tidak mungkin pernah padam.
Api mulai membesar, galian itu semakin panas hingga membuat manusia-manusia yang menonton peristiwa akan dibakarnya Nabi Ibrahim mulai mundur dan menjaga jarak. Seorang dukun memerintahkan supaya Nabi Ibrahim segera lepaskan ke dalam kobaran api, tiba-tiba tanpa dilihat menusia malaikat Jibril datang.
“Wahai Ibrahim, tidakkah kau memiliki keperluan?” Nabi Ibrahim menjawab, “aku tidak memerlukan sesuatu darimu.” Tubuh Nabi Ibrahim telah dilepaskan di dalam kobaran api. Lalu Allah menurunkan perintah kepada api. “Wahai api, jadilah engkau dingin dan membawa keselamatan kepada Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya’: 69).
Api pun tunduk pada perintah Allah SWT. Api hanya membakar tali-tali yang mengikat kaki dan tangan Nabi Ibrahim, selebihnya, api tak sedikitpun melukai tubuh Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim sendiri seakan berada di tengah-tengah taman, beliau pun memuji dan mengagungkan Allah. Dan yang ada di hatinya hanyalah kecintaanya kapada Allah SWT.
Dari jauh orang-orang memperhatikan kobaran api yang semakin membesar panasnya semakin membara dan menyengat kulit. Mereka menunggu api itu padam, saat api padam mereka dibuat terkejut. Nabi Ibrahim keluar dari kubangan api, dengan tubuh yang masih utuh dan selamat. Wajahnya berseri-seri, tampak diliputi cahaya dan kebesaran, sedangkan wajah-wajah mereka tampak menghitam karena terlalu lama terpampang asap api.
Bahkan, pakaian Nabi Ibrahim tampak tetap utuh, tidak tergores sedikit pun. Orang-orang kafir berteriak keheranan. Mereka mendapatkan kekalahan dan kerugian. “Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi.” (QS. Al-Anbiya’: 70)