REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada kuartal I – 2015 yang lalu, perikanan budidaya memberi kontribusi terbesar pada peningkatan produksi sub sektor perikanan hingga 2,92 juta ton, dengan nilai Rp 21 triliun. Peningkatan produksi ini mendorong peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sub sektor perikanan pada periode yang sama yang mencapai 8,64 persen atau lebih besar dibanding dengan peningkatan PDB Nasional yang hanya 4,7 persen.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto mengatakan bahwa peningkatan produksi perikanan budidaya tersebut sebagian besar disumbang dari produksi rumput laut yang mencapai 2,1 juta ton dengan nilai Rp 4,9 triliun, kemudian ikan nila 149.000 ton dengan nilai produksi Rp 2,5 triliun, dan bandeng yang mencapai 137 ribu ton dengan nilai Rp 1,9 triliun.
“Kita optimis peningkatan produksi perikanan budidaya ini akan terus meningkat sepanjang tahun 2015 dan mencapai target yang telah ditetapkan sebesar 17,9 juta ton”, jelas Slamet, Jumat (3/7).
Beberapa strategi telah disiapkan dan akan dilakukan untuk menggenjot produksi perikanan budidaya tersebut. Rumput laut, kata Slamet, masih menjadi komoditas unggulan perikanan budidaya. Komoditas ini menyerap tenaga kerja, memiliki pasar yang tidak terbatas dan produksinya sangat beragam.
"Negara-negara di dunia tidak semua bisa menghasilkan rumput laut,” kata Slamet.
Saat ini, rumput laut masih menjadi daftar pertama yang menjadi komoditas unggulan budidaya. Ditargetkan pada 2015, produksinya mencapai 10,6 juta ton. Bahkan hingga 2019 diperkirakan rata-rata pertumbuhan produksi rumput laut mencapai 16,74 persen per tahun.
Slamet menambahkan, mulai tahun ini beberapa komoditas juga diperhitungkan dan menjadi andalan antara lain adalah bawal bintang. Tahun ini target produksinya masih 1.900 ton. Namun, lanjutnya, target pertumbuhannya adalah 31,5 persen per tahun hingga 2019.
"Bawal bintang merupakan primadona baru, karena merupakan salah satu komoditas alternatif budidaya laut atau marikultur. Harga jualnya bersaing, sekitar Rp 70 ribu per kilogram. Waktu budidaya lebih cepat dibanding kerapu, yaitu 6 bulan dari ukuran benih tebar serta lebih mudah dalam pemeliharaannya," ujar Slamet.
Slamet melanjutkan, komoditas lain yang juga terus dikembangkan adalah kekerangan. Target produksi kekerangan pada tahun 2015 adalah 233.700 ton dan ditargetkan tumbuh 32,60% per tahun hingga 2019. Slamet mengaku, kekerangan selama ini memang belum diperhitungkan dan pembinaannya masih kurang sedangkan kebutuhan di dalam negeri tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan selama ini justru diimpor dari Eropa karena belum diperhatikan secara serius.
Padahal, potensi kekerangan di laut Indonesia sangat besar. Itu sebabnya sudah mulai dijalankan strategi pemberdayaan masyarakat seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB), Banten, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).