REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Hakikat puasa adalah pengendalian diri. Ini bukan hanya soal menahan tidak makan-minum, melainkan juga menahan diri dari sikap berlebih-lebihan dalam konsumsi.
“Setiap Ramadhan kita diajarkan dan disarankan untuk menahan diri. Itu menjadi kehilangan makna saat kita berlebih-lebihan dan menuruti hawa nafsu berbelanja,” kata Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Faisal Badrun kepada Republika, Ahad (5/7).
Faisal menilai, peningkatan tingkat konsumsi berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar silaturahim. Sejak awal Ramadhan sampai tiba bulan Syawal, agenda silaturahim tidak pernah absen. Tapi, lanjut Faisal, makna silaturahim tereduksi kalau dilakukan secara berlebih-lebihan.
Ia menambahkan, peningkatan jumlah konsumsi juga semakin menjadi-jadi akibat dorongan media. Para pengusaha sengaja memanfaatkan Ramadhan untuk meningkatkan kuota penjualan.
“Mungkin zaman dulu orang membeli pakaian setahun sekali, tapi sekarang tidak. Kita bisa mengalokasikan uang untuk kebutuhan yang lebih penting, tidak harus membeli pakaian saat Idul Fitri,” kata Faisal.
Pengelolaan yang sama juga berlaku saat kita menerima Tunjangan Hari Raya. Pada akhirnya, menurut Faisal, itu kembali pada kemampuan tiap-tiap individu untuk menahan diri.
Menurut Faisal, ketidakmampuan Muslim menahan diri untuk belanja bisa diatasi mulai dari tataran keluarga. Orang tua harus mencontohkan sikap hemat kepada anak-anak selama Ramadhan. Makan sewajarnya, tidak perlu bermewah-mewah. Apabila masih ada baju yang bagus, tidak perlu membeli baju baru saat Lebaran.
“Inti ibadah di bulan Ramadhan adalah menahan diri, mensyukuri apa yang telah diberikan Allah, kemudian menumbuhkan kesetiakawanan sosial,” kata Faisal.