REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Adat Papua curiga, peristiwa penyerangan jamaah salat Idul Fitri dan pembakaran masjid di Tolikara, Papua disengaja. Tujuannya adalah untuk memunculkan riak-riak konflik baru di Bumi Cendrawasih itu.
Ketua Lembaga Adat Papua, Lenis Kogoya mengaku sulit percaya dengan kesimpulan yang mengatakan, peristiwa pembakaran itu lantaran adanya tumpang tindih dua kegiatan kelompok beragama di wilayah tersebut.
Staf Khusus Kepresidenan itu menjelaskan, ada informasinya yang sampai kepadanya soal rangkain kegiatan agama mayoritas di Tolikara. Yaitu adanya seminar internasional yang dilakukan oleh jemaat Gereja Gidi pada Jumat (17/7).
"Kalau itu (seminar) ada izinnya, kenapa diizinkan? itu tanggal merah (Idul Fitri). Harusnya tidak ada izinnya," katanya di Gedung Wantimpres, Jakarta, Sabtu (18/7).
Lenis melanjutkan, seminar yang dilakukan jemaat Gereja Gidi pun belum tentu kebenarannya. "Sekarang pertanyaannya apakah pertemuan gereja itu (seminar) pernah dilakukan? Atau itu sengaja? itu persoalan di situ?," ujarnya.
Karena itu, dia meminta kepolisian agar rangkaian peristiwa pembakaran tersebut diusut dari awalnya. "Nanti ini ketemu siapa itu pelakunya. siapa itu bakar masjid. Siapa itu yang bakar kios-kios," ucapnya.
Lenis menegaskan, akan menyelesaikan peristiwa pembakaran masjid tersebut, dan mencari pelaku utama dari rangkaian peristiwa tersebut. Tentunya, kata dia, peyelesaian yang dia lakukan ialah di luar kewenangan penegakan hukum.
Namun, dirinya meminta agar kepolisian juga melakukan langkah serupa sampai dengan penindakan atas peristiwa tersebut.
Sebelumnya, perselisihan berbuntut pembakaran rumah ibadah umat Islam terjadi di Kabupaten Tolikara. Pembakaran tersebut terjadi ketika umat Islam di Papua, sedang melangsungkan shalat Ied di sebuah masjid di Tolikara.
Pembakaran tersebut belum terang penyebabnya. Namun diduga, pembakaran itu terjadi akibat cek-cok antara jemaat Gereja Gidi dan jemaat shalat Ied.
Jemaat Gereja Gidi dikatakan tak suka dengan aktivitas muslim yang melakukan peribadatan dengan menggunakan alat pengeras suara.
Aktivitas keagaam Islam dengan pengeras suara itu, dituding jemaat Gereja Gidi sebagai pengganggu aktivitas keagamaan kelompok tersebut. Sebab, tak jauh dari lokasi shalat Ied, jemaat Gereja Gidi, dikatakan sedang melangsung kegiatan seminar keagamaan.