REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pascainsiden Hari Raya Idul Fitri pada 17 Juli lalu, dikabarkan terdapat peraturan daerah (Perda) di Tolikara yang hanya mengizinkan pembangunan tempat ibadah untuk satu agama saja. Perda itu dikabarkan telah diberlakukan, meski belum disahkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi II DPR RI Rambe Kamarul Zaman mengatakan sanksi yang diberikan bagi daerah yang telah memberlakukan perda tanpa pengesahan Mendagri adalah pembatalan aturan tersebut.
"Sanksinya ya perda itu harus dibatalkan," katanya saat dihubungi ROL, Jumat (24/7).
Ia melanjutkan, namun dari segi hukum tidak ada sanksi dari negara bagi pembuatan atau pihak yang menyetuui Perda yang bertentangan dengan aturan UU. Tetapi bisa saja hukuman diberikan secara internal dari pemerintah provinsi.
Selain itu untuk bisa memutuskan langkah ke depan, harus dibuktikan terlebih dahulu bukti nyatanya. Sebab selama ini perda tersebut belum pernah diperlihatkan baik oleh kepala daerah ataupun DPRD setempat.
Sebelumnya, Mendagri Tjahjo Kumolo bahkan mengaku belum tahu bentuk dan isi perda karena belum diberikan oleh pemerintah daerah. Tjahjo masih menyelidiki perda yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila tersebut.
Sementara, Ketua Perseketuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII), Lipiyus Biniluk membenarkan adanya peraturan daerah (Perda) tentang larangan membangun rumah ibadah baru di Tolikara.
Menurutnya, Perda itu sesuai dengan kearifan lokal di kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Kristen tersebut. Terlebih, katanya, Papua memiliki keistimewaan otonomi khusus.
"Perda itu dalam konteks otonomi khusus Papua. Perda itu sesuai dengan local content yang ada," katanya usai menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jumat (24/7).
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Daerah Kabupaten Tolikara Dance Y Flassy menambahkan, kendati Perda sudah disetujui oleh DPRD Kabupaten Tolikara, namun aturan tersebut belum diketuk palu oleh DPRD Provinsi Papua.