REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Antrean keberangkatan haji yang terlalu lama ini menjadi bahasan penting dalam ijtima' ulama MUI ke-5 se-Indonesia yang diselenggarakan di Tegal beberapa waktu lalu.
Salah satu pembahasannya, bagaimana jika orang yang sudah pernah berhaji dilarang untuk berangkat kembali? Tujuannya agar meringankan antrian keberangkatan haji ini. Agar orang yang belum berangkat bisa segera berangkat.
Para ulama seluruh mazhab bersepakat, hukum asal haji berulang kali adalah mandub (sunnah). Kewajiban haji hanya sekali saja seumur hidup. Inilah yang diistilahkan dengan haji wajib.
KH Ma'ruf Amin sebagai Ketua Tim Materi dalam ijtima' ulama tersebut menegaskan, orang yang telah melaksanakan ibadah haji satu kali (haji wajib) berarti sudah terpenuhi kewajibannya.
Hal ini berdalil dengan hadis dari Ibnu Abbas RA. Ketika Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat al-Aqra' bin Abis tentang haji berulang kali, Beliau SAW bersabda, "(haji) hanya satu kali saja. Siapa yang menambah, maka itu sunat (tatawwu')." (HR Abu Daud).
Disamping itu para ulama juga bersepakat, hukum asal melarang orang lain yang ingin menunaikan haji ke Tanah Suci adalah haram.
Hal ini secara tegas disebut dalam Alquran, "Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya." (QS al-Baqarah [2]: 114). Jadi, jika ada yang ingin melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci, walaupun dia sudah melaksanakan haji berulang kali, adalah haram hukum asalnya.
Namun, jika seseorang yang sudah berulangkali haji ini tetap mendaftar berangkat haji lagi tanpa mempedulikan orang lain yang belum berangkat haji, justru dirinya bisa menghalangi orang lain berangkat haji ke Tanah Suci.
Jadi, orang yang sudah haji, harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melaksanakan haji wajibnya, karena keterbatasan kuota dan antrian keberangkatan yang lama.
Ketentuan hukumnya, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur pelaksanaan ibadah haji bagi calon haji agar memperoleh kesempatan. Pemerintah berhak membatasi keberangkatan haji bagi mereka yang sudah melaksanakan haji wajib dengan aturan khusus.
Memberikan prioritas kepada orang yang ingin melaksanakan haji wajib ketimbang mereka yang hanya berangkat haji berulang (sunat) juga berdalil dengan kaidah fikih, "Ma la yatimmu al-wajibu illa bihi, fahuwal wajib" (Sesuatu yang jika tanpanya hal wajib tidak bisa ditunaikan, maka sesuatu itu juga menjadi wajib). Misalnya, shalat adalah wajib dan shalat tidak bisa ditunaikan tanpa adanya wudhu'. Maka wudhu' bagi orang yang akan shalat pun ikut terbawa jadi wajib.
Demikian juga, orang yang ingin menunaikan haji wajib berada dalam antrian panjang keberangkatan haji. Ia menjadi wajib diprioritaskan untuk berangkat haji ketimbang orang yang berangkat haji sunat. Alasannya, haji wajib juga mewajibkan hal-hal yang menjadi mediator terlaksananya kewajiban hajinya.
Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Barrinya juga menegaskan, "melakukan yang wajib harus didahulukan daripada melakukan amalan tathawwu' (sunat)." Jika bertemu antara yang wajib dan yang sunat, maka yang wajib akan menjadi prioritas untuk di dahulukan. Demikian juga soal keberangkatan haji.
Dalam putusan komisi Fatwa yang menangani soal Fiqhiyah Mu'ashirah ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Mengingat panjangnya antrean berangkat haji, mereka yang hendak melaksanakan haji sunat hendaknya dipisahkan antreannya dari mereka yang hendak berangkat haji wajib.
Proses pendaftaran calon haji perlu diperhatikan seksama agar mereka yang berangkat haji wajib bisa diprioritaskan berangkat lebih dahulu.
Disamping itu, komisi fatwa tersebut juga merekomendasikan agar orang yang berangkat haji berulang perlu dibatasi. Kecuali bagi mereka yang memang punya hajat tertentu, seperti petugas, pembimbing, dan pendamping calon haji yang dibutuhkan.
Para ulama juga menganjurkan, sebaiknya Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) orang yang haji berulang lebih afdhal (utama) untuk disedekahkan.
Hal ini lebih bermanfaat untuk mewujudkan izzul Islam wal muslimin (ibadah yang berdimensi sosial) seperti peduli anak yatim, dhuafa, dan tetangga yang berkekurangan. Bisa juga untuk pembangunan masjid, lembaga pendidikan, panti asuhan, beasiswa pendidikan, dan sejenisnya.