REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Polemik kepemimpinan ulama bukanlah hal baru dalam dunia Islam. Di kalangan sufi yang dikenal tawadhu’ pun perihal kepemimpinan ini menjadi hal penting yang dibahas dan diperebutkan.
“Tapi, perebutan kepemimpinan ulama zaman lampau berbeda. Tidak menggunakan iming-iming uang atau intimidasi melalui kecurangan sistem. Kepemimpinan diperebutkan melalui istikhoroh, kapasitas keilmuan dan rekam jejak kesuksesan dalam memimpin,” papar intelektual muda Nahdlatul Ulama Arif Taufiq NA dalam rilis yang diterima ROL, Senin (3/8).
Alumnus Universitas Indonesia ini mengungkapkan, perihal perebutan kepemimpinan bukanlah hal tabu dalam Islami. Bahkan, kata Arif, pentingnya kemampuan mengorganisir sudah ditekankan oleh Ali Bin Abu Thalib.
Sayyidina Ali pernah berkata, al-haqqu bila nidzam sayuglibuhul bathil bi an-nidzam. Artinya, tanpa kemampuan manejemen organisasi, kebenaran mudah dikalahkan oleh kejahatan yang sistematis.
“Ini merupakan prasyarat kepemimpinan dalam Islam. Mampu me-manage organisasi. Kalau sekedar tawadhu’ tanpa mampu mengatur bahkan cenderung mudah disetir pihak lain, malah berbahaya kalau memimpin,” imbuhnya.
Arif juga menyitir pernyataan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani yang pernah berpesan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, maka setidaknya harus memiliki tiga kualitas. Yaitu, Ilmul ‘Ulama’, Hikmatul Hukama’, dan Siyasatul Mulk.
“Menjadi mursyid, atau pemimpin ulama, tidak hanya membutuhkan intelektualitas, tapi juga harus memiliki kebijaksanaan dan kemampuan strategis dalam berpolitik. Kalau sekedar alim, tapi buta politik dan kurang bijak, akan menjadi bumerang bagi yang dipimpin,” tegasnya.
Pemimpin NU ke depan, baik di tingkat Rais ‘Aam maupun Tanfidz, kata Arif haruslah sosok berintegritas tinggi, berpengaruh terhadap banyak ulama, paham situasi dan peta politik, dan memiliki kemampuan manajerial yang handal.