REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menyatakan masa orientasi siswa (MOS), seharusnya diselenggarakan sekolah dan guru. Bukan diserahkan kepada kakak pembina atau pun Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).
"Seharusnya yang menyelenggarakan MOS adalah guru dan sekolah," ujar Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Hamid Muhammad, usai pelepasan delegasi Indonesia ke Brazil di Jakarta, Selasa (4/8) petang.
Hal tersebut juga tertuang dalam Surat Nomor 59389/MPK/PD/Tahun 2015 tentang Pencegahan Praktik Perpeloncoan, Pelecehan dan Kekerasan Pada Masa Orientasi Peserta Didik Baru di Sekolah yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota di seluruh Tanah Air. Kemdikbud meminta bantuan kepala daerah untuk menginstruksikan kepada kepala dinas pendidikan untuk mengantisipasi dan memastikan, dalam pelaksanaan orientasi peserta didik baru tidak ada praktik atau menjurus pada praktik perpeloncoan, pelecehan, kekerasan terhadap peserta didik baru baik secara fisik maupun psikologis yang dilakukan di dalam maupun di luar sekolah.
"Kalau dari aturan disebutkan seperti itu. Tapi memang peraturannya global, tujuannya agar daerah bisa menyesuaikan," tambah dia.
Hamid menilai terjadi ketidaksampaian informasi dari dinas pendidikan ke daerah. "Ada yang dilanjutkan ke sekolah, ada yang tidak," katanya.
MOS di Tanah Air, lanjut dia, tak ada yang mempermasalahkan. Akan tetapi, yang diributkan adalah yang mempergunakan atribut yang tidak sesuai. "Hal itu harus segera diakhiri, agar tidak terjadi rantai kekerasan," cetus dia.
Sebelumnya, dalam sidak ke sejumlah sekolah menengah di Tangerang, Mendikbud Anies Baswedan mempertanyakan penggunaan atribut dalam masa MOS. Seorang siswa SMP Flora Pondok Ungu Permai, Evan Christoper Situmorang (12), meninggal setelah kedua kakinya sakit selama dua pekan.
Evan sebelumnya berjalan hingga empat kilometer atas perintah seniornya saat hari terakhir masa orientasi siswa (MOS) di sekolahnya.