Senin 10 Aug 2015 13:23 WIB

Penundaan Pilkada Jadi Strategi Politik

Rep: Agus Raharjo/ Red: Angga Indrawan
Pilkada 2015
Pilkada 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasangan calon tunggal di pemilihan kepala daerah dinilai bagian strategi partai politik. Strategi seperti itu digunakan untuk melawan calon kepala daerah incumbent yang terlalu kuat. Namun, PPP menilai strategi politik seperti itu sah digunakan dalam politik.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil muktamar Jakarta, Achmad Dimyati Natakusumah mengatakan, partai politik tidak dilarang untuk menggunakan strategi politik tidak mengajukan calon agar terjadi calon pasangan tunggal. Akibat dari hanya ada pasangan calon tunggal ini, pilkada di beberapa daerah terancam untuk ditunda.

“Strategi politik ya sah saja,” kata Dimyati di kompleks parlemen, Senayan, Senin (10/8).

Dimyati mengatakan, rakyat tidak akan merasa rugi dengan ditundanya pilkada di beberapa daerah. Di daerah lain, pilkada tetap dilaksanakan juga. Hanya sekitar 7 daerah yang terancam ditunda pelaksanaan pilkadanya. Menurut Dimyati, yang rugi kalau pilkada di 7 daerah tersebut ditunda adalah adanya sikap pragmatis.

Misalnya, dengan mengangkat Pelaksana Tugas (PLT) untuk kepala daerah di wilayah yang ditunda pilkadanya. Anggota komisi I DPR RI ini mengatakan, PLT juga dapat melaksanakan kepemimpinan di daerah. Jadi, rakyat tidak perlu khawatir kalau tidak ada pilkada di beberapa daerah. Sebab, aturan di PKPU sudah disetujui, kalau hanya ada pasangan calon tunggal maka pilkada akan ditunda di 2017. Aturan itu menjadi pegangan seluruh parpol untuk berlaga di pilkada.

Dimyati menilai, jangan ada konsensus terus-menerus soal pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Politikus partai berlambang Ka’bah itu mengatakan KPU saat ini terlalu banyak toleransi. Padahal, kalau aturan sudah dibuat harusnya disepakati. “Aturan ini kalau terlalu kendor, lembek, tidak selesai-selesai negeri ini,” tegas dia.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mengatakan jangan sampai parpol menggunakan strategi politik agar pilkada ditunda di beberapa daerah. Menurutnya, hal itu merupakan spekulasi terhadap legitimasi dari kepala daerah yang akan datang. Sebab, rakyat sudah memilih anggota DPR dan DPRD. Jadi, rakyat berhak suaranya digunakan untuk mencalonkan kepala daerah.

Hal kedua adalah, daerah memerlukan pemimpin. Kalau tidak ada pemimpin (kepala daerah) karena tidak ada pilkada dan digantikan oleh PLT, justru lebih berbahaya lagi. Daerah yang dipimpin oleh PLT akan lebih rapuh dan tidak stabil.

“Tidak boleh gitu dong, itu kan spekulasi terhadap legitimasi dari kepala daerah yang akan datang,” kata Fahri.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement