REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kasus bailout Bank Century yang tak kunjung tuntas di ranah hukum menggugah politisi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan. Ia ingin publik terus ingat kasus yang merugikan negara itu meski rezim pemerintahan berganti.
“Niat utama saya adalah saya ingin mengingatkan kepada publik bahwa ada persoalan yang serius dalam sebuah episode bangsa Indonesia yang belum tuntas diselesaikan, yaitu kasus bailout Bank Century,” papar Misbakhun saat menerangkan tentang bukunya, Sejumlah Tanya Melawan Lupa, Mengungkap 3 Surat SMI kepada Presiden SBY, Selasa (18/8).
Peluncuran buku yang akan berlangsung Rabu (19/8) besok ini pun terlihat sangat serius. Lantaran mengundang para pembicara yang dikenal sebagai sosok pengawal kasus Century. Seperti Bambang Soesatyo, Maruarar Sirait, Akbar Faizal, dan Ray Rangkuti.
Tak lupa, Misbakhun mengulik sisi lain dari sisi terdakwa terdakwa kasus korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) Bank Century, Budi Mulya. Budi Mulya yang pernah menjadi Deputi Bank Indonesia diwakili dengan testimoni dari istri dan putrinya, Nadya Mulya.
“Jangan sampai pula, daya ingat publik yang tidak panjang itu dimanfaatkan untuk mengubur kasus bailout Bank Century. Dalangnya harus dibongkar,” harap Misbakhun.
Sisi gelap kebijakan perbankan tersebut dengan berani ia kemukakan dengan menggunakan alat tiga surat sangat rahasia dari Sri Mulyani Indrawati (SMI) selaku Menteri Keuangan ex officio Ketua KSSK kepada Presiden SBY terkait kebijakan bailout yang dianggap melanggar hukum tersebut.
Termasuk dalam buku ini diungkap Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap SMI terkait kasus Bank Century.
Keberanian Misbakhun ini didorong pula dengan kasus hukum Budi Mulya yang inkracht, sehingga ia menganggap konstruksi hukum bailout atas Bank Century makin jelas.
“Ada unsur korupsi dan ada unsur kerugian negara. Sudah saatnya KPK segera menuntaskan kasus atas bailout Bank Century ini untuk segera dituntaskan pada aktor utamanya. Karena Budi Mulya bukanlah aktor pelaku utama dalam kasus ini,” tegas anggota Komisi XI DPR RI ini.
MA memperberat hukuman terdakwa kasus korupsi pemberian FPJP Bank Century, Budi Mulya. Hukuman mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) itu diperberat menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair delapan bulan kurungan.
Hukuman tersebut dijatuhkan dalam persidangan yang dipimpin Hakim Artidjo Alkostar dengan Hakim anggota M. Askin dan MS. Lumme secara bulat tanpa ada dissenting opinion pada Rabu 8 April 2014.
Putusan itu sendiri sekaligus mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan KPK terhadap Budi Mulya.
"Mengadili, mengabulkan kasasi penuntut umum serta membatalkan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi mengadili sendiri," demikian petikan amar putusan kasasi.
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebut alasan kasasi penuntut umum dapat dibenarkan. Sebab, pada putusan sebelumnya yakni Pengadilan Tinggi DKI dinilai kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan.
Hakim menilai pemberian persetujuan penetapan pemberian FPJP kepada PT Bank Century Tbk oleh Budi Mulya dilakukan dengan itikad tidak baik. Selain itu, dilakukan dengan cara melanggar Pasal 45 dan penjelasannya UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004.
Perbuatan terdakwa itu dinilai termasuk perbuatan melawan hukum. Perbuatan terdakwa yang melawan hukum itu dinilai mempunyai hubungan kausal dengan kerugian keuangan negara sejak penyetoran PMS (Penyertaan Modal Sementara) yang pertama kali pada 24 November 2008 hingga Desember 2013, yang jumlahnya Rp8.012.221.000.000 (delapan triliun dua belas miliar dua ratus dua puluh satu juta rupiah).
"Jumlah kerugian keuangan negara yang sangat besar di tengah banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Konsekuensi etis dan yuridisnya, perbuatan terdakwa pantas untuk dijatuhi pidana yang setimpal," terang putusan itu.
Tak hanya itu, majelis hakim menuturkan PT Bank Century Tbk yang ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik, telah diserahkan kepada LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) pada 21 November 2008. Terdakwa Budi Mulya saat itu menyetujuinya dalam RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI.