REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan siapapun bisa melaporkan pejabat negara atau institusi yang tidak sesuai prosedur dalam menjalan tugasnya, ke badan pengawas yang ada.
Hal itu disampaikan oleh politikus PKS itu terkait dugaan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh satuan tugas khusus (Satgasus) Kejaksaan Agung dalam penggeledahan PT Victoria Securities Indonesia terkait kasus pembelian aset BTN melalui BPPN.
"Jika pejabat negara dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai prosedur, itu seharusnya bisa dilaporkan ke Ombudsman tidak boleh pejabat negara itu lain yang di surat, lain pula yang dikerjakan. Itu harus dilaporkan ke Ombudsman. Dan di Kejaksaan Agung ada Komisi Kejaksaan juga," katanya, di Jakarta, Rabu (19/8).
Ia menegaskan setiap pejabat negara baik itu penegak hukum saat ini sudah memiliki badan pengawasnya masing-masing, tidak terkecuali lembaga pimpinan Jaksa Agung M Prasetyo. Untuk itu siapa pun pejabat dan institusi hukum tidak bisa serampangan dalam bertugas.
"Pokonya gini, semua pejabat itu mau sok penguasa bagaimanapun itu ada pengawasnya dan boleh dilapor, ga boleh serampangan menjadi pejabat. Makannya saya bilang kok korupsi merajalela?, orang kita saja jadi pejabat tidak boleh sembarangan sekarang," ujarnya.
Seperti diketahui, PT Victoria Securities Indonesia (VSI))melaporkan Kejaksaan Agung ke DPR. Hal tersebut karena PT VSI menilai penggeledahan yang dilakukan Satgasus Kejaksaan Agung salah objek dan subjek hukum terkait kasus pembelian aset BTN melalui BPPN.
Perkara ini bermula saat sebuah perusahaan bernama PT Adistra Utama meminjam Rp 469 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990.
Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukan BTN ke BPPN untuk diselamatkan. Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang PT AU. PT Victoria Sekuritas Indonesia membeli aset itu dengan harga Rp 26 miliar.
Seiring waktu, PT AU ingin menebus aset tersebut dengan nilai Rp 26 miliar. Tapi, PT VSI menyodorkan nilai Rp 2,1 triliun atas aset itu. Tahun 2012, PT AU kemudian melaporkan PT VSI ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset itu. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.