REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Studi agama Islam di Indonesia dinilai masih berkutat kepada ilmu-ilmu teoritis tanpa pendekatan penerapan yang nyata.
“Studi Islam harus ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan,” ujar dosen Program Studi Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina, Pipip A. Rifa’i Hasan, Rabu (19/8).
Ia mengatakan, studi kajian Islam sejatinya mengalami perkembangan sesuai dengan zamannya. Sehingga semestinya tidak hanya menguatkan semata-mata keyakinan ajaran Islam apalagi yang hanya dipahami dalam perspektif hadis-hadis tertentu.
Saat ini, ulas Pipip, perkembangan global menghendaki kerjasama berbegai kelompok agama dan kelompok peradaban untuk mengatasi problem bersama. Lantaran permasalahan di satu tempat juga akan memberikan dampak kepada daerah yang lain.
Pipip mengatakan ajaran agama harus dipahami dalam konteks zaman Rasulullah tidak hanya sekedar mempelajari teks. Justru, yang diutamakan dalam Islam adalah tujuan dari hukum Islam itu sendiri bukan bentuk atau cara-cara.
“Kalau bentuk hukum itu tudak menciptakan kemaslahatan itu justru bisa diganti,” paparnya.
Pipip menjelaskan, ada beberapa tantangan yang dihadapi studi agama Islam. Di antaranya, tantangan yang lebih mendasar adalah materialisme.
Diakui Pipip, semua agama tengah menghadapi problem filosofis tentang materialisme. Terutama, banyak yang melakukan cara-cara kejahatan dengan kedok melakukan tujuan-tujuan kebaikan.
Selain materialisme, Pipip menambahkan, kekerasan juga menjadi tantangan studi Islam. Menurutnya, kekerasan saat ini kerap dijadikan ciri khas Islam karena para pelaku kekerasan mengatasnamakan Islam.
“Oleh karena itu, ideologi kekerasan perlu dihadapi dengan studi Islam dengan pendekatan-pendekatan yang lebih spiritual seperti tasawuf,” jelas Pipip.