REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Patrice Rio Capella menegaskan penegakan hukum harus memiliki dasar kuat atas kasus yang seharusnya bisa diungkap sejak sekian tahun lalu.
Hal tersebut disampaikannya menanggapi dasar tuduhan kerugian yang disebut penyidik Kejagung dalam kasus dugaan korupsi penjualan hak tagih (cessie) BPPN. Sebab ada dugaan pihak Kejagung belum mengantongi secara resmi audit dari Badan Pemeriksa Keuangan atas penyidikan kasus tersebut.
"Memang yang jadi pertanyaan, sudah sekian puluh tahun kok sekarang baru ditanganu. Jadi pihak penegak hukum harus punya dasar yang kuat sehingga tidak menganggu situasi seperti situasi ekonomi hari ini," jelasnya di DPR, Jakarta, Selasa (24/8).
Sekjen Partai Nasdem ini menilai aneh kasus tersebut. Pasalnya, Jaksa Agung tidak memiliki alasan kuat menyebut kerugian negara dan terkesan mencari-cari kesalahan sebelum ada bukti.
"Aneh juga sudah gonti ganti Jaksa Agung. Sepanjang Jaksa Agung tidak punya alasan yang kuat masih di cari-cari kerugiannya, nah itu kan berarti belum ada (berapa kerugian negara) mau di cari dulu tapi ribut nya udah duluan," ujarnya
Namun, menurutnya, hal tersebut jangan sampai memperparah kondisi negara saat ini, dimana ekonomi semakin melemah. Maka, tidak perlu melihat persoalan kebelakang namun sebaiknya memikirkan permasalahan kedepan. Meski begitu, ia menekankan jika memang buktinya kuat maka penegak hukum boleh segera menindak.
"Saya rasa kita perlu melihat kedepan jangan lagi ngorak-ngorek kasus sekian puluh tahun. Situasi sekarang kita perlu suasana kebatinan tidak lagi mencari-cari kesalahan. Pikirkan aja kedepan jangan yang lalu-lalu, tapi kalau ada bukti kuat dan tinggal ambil tindakan ya silahkan jangan di cari-cari dulu," jelasnya.
Berdasarkan dokumen yang dihimpun, perkara ini bermula saat sebuah perusahaan bernama PT Adyaesta Ciptatama meminjam sekitar Rp266 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990. Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.
Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang Adyaesta. VSIC membeli aset itu dengan harga Rp32 miliar. Seiring waktu, pihak Adyaesta ingin menebus aset tersebut, namun, VSIC menyodorkan nilai Rp2,1 triliun atas aset itu. Pasalnya, nilai utang tersebut setelah dikalkulasi dengan jumlah bunga dan denda, saat ini sudah bernilai Rp3,1 triliun.
Pada 2013, pihak Adyaesta melalui kuasa hukumnya Jhonson Panjaitan kemudian melaporkan VSIC ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset yang dinilai merugikan negara. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.