REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Presiden Irak Fouad Massoum mengesahkan amandemen konstitusi, Rabu (26/8). Persetujuan perubahan konstitusi ini menanggapi tuntutan demonstran untuk mereformasi sistem pemerintahan Irak yang terlibat korupsi dan salah manajemen.
‘’Kami setuju terhadap kebutuhan untuk mengamandemen konstitusi tapi tidak boleh berbeda dengan nilai dan dokumen yang dipilih rakyat,’’ kata Massoum, seperti dikutip dari laman Al Arabiya, Kamis (27/8).
Sayangnya dia tidak menyebutkan perubahan spesifik konstitusi tersebut. Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi yang meluncurkan kampanye reformasi besar Irak bulan ini juga mengatakan dirinya mungkin berusaha untuk merevisi konstitusi.
Abadi, dalam sebuah pernyataan di website-nya, mengatakan reformasi yang diinginkan oleh kabinet dan parlemen sesuai konstitusional dan hukum.
‘’Saya tidak akan mundur,’’ ujarnya.
Di tengah gelombang panas dengant suhu di atas 50 derajat Celcius, pengunjuk rasa demonstrasi buruknya kualitas layanan, terutama listrik yang padam karena minimnya pasokan listrik dari pemerintah. Tuntutan mereka ikut dipicu ulama Syiah Ayatollah Ali al-Sistani pada 7 Agustus 2015 yang menyerukan Abadi untuk mengambil langkah-langkah drastis melawan korupsi.
Abadi meluncurkan program reformasi dua hari kemudian yang termasuk menghilangkan posisi wakil perdana menteri. Parlemen menandatangani proposal tersebut dan reformasi tambahan. Abadi kemudian mulai mengeluarkan perintah untuk perubahan, termasuk pemangkasan 11 jabatan di kabinet dan pemotongan jumlah penjaga bagi para pejabat.
Kepala editor surat kabar Al-Mada, Adnan Hussein mengatakan kepada Al Arabiya News bahwa langkah presiden memang penting meskipun faktanya masih ada protes.