REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Gabungan Asosiasi Perserikatan Pengusaha Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aoni Aziz mengatakan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir tren pertumbuhan industri hasil tembakau terus mengalami penurunan. Pada kuartal I 2015 produksi industri hasil tembakau turun sampai 14,60 persen, dan penerimaan cukai juga turun sebesar 12,74 persen dibandingkan kuartal I 2014.
Hasan menjelaskan, pada kuartal II 2015 produksi industri hasil tembaku kembali mengalami penurunan sebesar 1,27 persen dibandingkan kuartal II 2014. Namun, penerimaan cukai justru naik menjadi 6,43 persen. Menurutnya, hitungan ini cenderung dapat menyulitkan dan mengecoh pengusaha.
"Sejauh ini untuk mencapai performance fiskal pemerintah, industri nurut aja namun perubahan angka tersebut lebih cenderung pada itung-itungan politik ketimbang itungan fiskal," ujar Hasan di Jakarta, Rabu (9/9).
Menurut Hasan, apabila cukai hasil tembakau dinaikkan menjadi 23 persen maka target penerimaan cukai pemerintah tidak akan tercapai. Semakin tinggi cukai hasil tembakau, maka target penerimaannya akan makin rendah.
Dari asumsi perhitungan yang disusun oleh Gappri, apabila cukai hasil tembakau naik 6 persen maka penerimaan cukai hanya sebesar Rp 135 triliun. Sementara itu, apabila naik 10 persen penerimaan cukai hasil tembakau hanya Rp 133 triliun. "Kalau naik 14 persen saja, maka tidak akan ada pertumbuhan apapun," kata Hasan.
Hasan mengatakan, apabila kebijakan tersebut tetap dipaksakan maka akan menyulitkan industri hasil tembakau. Pasalnya, sejak 2010 jumlah pabrik rokok menurun 81,6 persen dengan rata-rata 531 pabrik tutup setiap tahunnya. Pada 2013 jumlah pabrik rokok masih sekitar 800 dan di 2014 jumlahnya semakin menurun hingga hanya menyisakan 600 pabrik yang beroperasi.
Menurut Hasan, seharusnya industri hasil tembakau sebagai industri khas Indonesia tetap dilindungi dan dikembangkan. Apalagi, industri rokok kretek menggunakan komponen lokal sebanyak 70 persen dan paling banyak menyerap tenaga kerja.