REPUBLIKA.CO.ID, oleh Komaruddin Hidayat
Puncak ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Ini tak lain adalah semacam meditasi, merenungkan eksistensi dan posisi kemanusiaan kita di hadapan Sang Pencipta dan alam semesta. Dengan wukuf, yang berarti berdiam diri, dihadapkan seorang Muslim mendapatkan ma’rifah atau the wisdom of life sehingga dengan demikian ketika kembali ke tanah airnya masing-masing telah terlahir sebagai manusia baru yang penuh kearifan hidup.
Figur utama dalam sejarah haji adalah Nabi Ibrahim. Secara dramatis Nabi Ibrahim memberi contoh bahwa pengurbanan yang pertama dilakukan ialah membunuh berhala, dalam bentuk mencintai anaknya sendiri agar jangan sampai cinta pada anak menutupi hatinya untuk mencintai Tuhan dan cinta sesama manusia.
Bukankah cukup banyak contoh bahwa cinta anak secara berlebihan, lebih-lebih jika ia seorang penguasa, membuat rasa keadilan dan kemanusiaannya cenderung tumpul? Berapa banyak hak milik orang lain diambil secara tidak sah oleh orang yang sedang memegang kekuasaan (besar atau pun kecil), karena didorong oleh cinta pada anak secara tidak proporsional? Mungkin sekali, cerita pengurbanan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya mengundang pesan pembebasan dari perilaku korup dan serakah.
Ibadah haji secara psikologis juga merupakan upacara “kematian” dalam rangka menemukan makna dan kualitas hidup yang lebih sejati. Yaitu matinya kesadaran palsu dan sifat-sifat yang negatif yang antara lain ditimbulkan oleh prestasi duniawi yang memabukkan yang merendahkan harkat kemanusiaannya. Selain itu haji merupakan pesan sosial untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.