REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lima puluh tahun yang lalu, gerakan 30 September menjadi catatan bersejarah bagi bangsa Indonesia. Banyak korban yang berjatuhan pada dan pasca pemberontakan tersebut. Luka sejarah pun masih belum kering dalam ingatan para pelaku sejarahnya.
Presiden Joko Widodo pun melemparkan wacana akan melakukan permintaan maaf pemerintah terhadap keluarga eks Partai Komunis Indonesia (PKI) santer menjadi pemberitaan saat ini.Pro-kontra pun muncul, ada yang mendukung adapula yang menolak keras permintaan maaf tersebut.
Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta mantan Menteri Perindustrian, Fahmi Idris menilai peristiwa G30S/PKI merupakan peristiwa yang tidak bisa dimaafkan, karena peristiwa tersebut merupakan sebuah pengkhianatan terhadap negara.
"Peristiwa tersebut ingin mengubah dan mengganti pancasila sehingga tidak bisa dimaafkan, dan jangan sampai terulang lagi, sing wis yo wis," ucapnya.
Menurutnya, bagi para pelaku dan korban peristiwa G30S/PKI, luka dari peristiwa akan sulit untuk terobati. Ia pun memberikan dua contoh peristiwa yang hampir mirip dengan pemberontakan dan pengkhianatan 30 September tersebut.
Pertama adalah peristiwa perang bubat, penyerangan dari kerajaan Majapahit ke kerajaan kerajaan Sunda Galuh yang menyebabkan tewasnya putri dari kerajaan Sunda Galuh, Diah Pitaloka. Padahal saat itu Raja Majapahit, Hayam Wuruk hendak mempersunting Pitaloka.
"Luka perang bubat yang terjadi lebih dari satu abad yang lalu itu sampai saat ini masih tersimpan. Kita tidak akan menemukan nama Jalan Hayam Wuruk atau Jalan Gajah Mada di daerah Jawa Barat," katanya.
Kemudian, sambung Fahmi, pada tahun 1967 para tokoh Masyumi juga pernah mengadakan rehabilitasi yang diusulkan oleh ayah mertuanya, Hasan Basri bersama Mohammad Roem.
Para tokoh Masyumi tersebut membuat surat kepada pemerintah saat itu Presiden Soeharto untuk merehabilitasi Partai Masyumi.Namun, jawaban yang diterima dari Pangkostrad Angkatan Darat adalah tidak bisa menerima rehabilitasi Masyumi.
"Jawaban dari Angkatan Darat : 'kami mengerti kehendak merehabilitasi Partai Masyumi, tapi kami tidak bisa memaafkan yang telah terjadi saat pemberontakan DI/TII'," jelasnya.
M Natsir, lanjut Fahmi, yang merupakan pimpinan Partai Islam tersebut pun memahami dan menerima keputusan tersebut. "Itulah contoh dua penyelesaian tanpa huru hara," ucapnya.