REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah fosil berusia dua juta tahun, termasuk tiga tulang bagian dari gendang telinga, saat ini menjadi bahan penelitian tentang kemampuan pendengaran nenek moyang manusia pada era awal evolusi dari simpanse.
Sebuah kajian yang diterbitkan baru-baru ini, yang melibatkan dua spesies dari Afrika Selatan yaitu Australopithecus africanus dan Paranthropus robustus, menyimpulkan keduanya mampu mendengar lebih baik daripada simpanse ataupun manusia dalam frekuensi tertentu yang kemungkinan membuat mereka mampu berkomunikasi di habitat savana.
Kedua spesies itu memiliki campuran anatomi kera dan manusia. Keduanya juga mendiami ladang rumput, berbeda dengan keturunan awal manusia yang mendiami hutan.
Kedua spesies tersebut memiliki sensitivitas pendengaran maksimal untuk frekuensi yang agak lebih tinggi daripada simpanse. Keduanya juga mendengar lebih baik daripada simpanse dan manusia dalam frekuensi 1.0 hingga 3.0 kilohertz, kata pakar paleontologi Rolf Quam dari Universitas Binghamton di New York.
Suara-suara yang termasuk dalam rentang itu adalah semua huruf vokal dan beberapa konsonan, kata Quam.
"Ternyata, pola pendengaran ini mungkin lebih menguntungkan untuk kehidupan di savana. Di ruang yang lebih terbuka, gelombang suara tidak bergerak sejauh di dalam hutan sehingga komunikasi jarak pendek lebih bagus di savana," jelas Quam.
Garis keturunan manusia terpisah dari simpanse sekitar lima hingga tujuh juta tahun lalu, kata Quam, dan kemampuan pendengarannya mulai beradaptasi dengan perubahan gaya hidup.