REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG -- Bisnis penambangan pasir besi milik Hariyono, Kepala Desa Selok Awar-Awar , Kecamatan Pasirian, Lumajang beromzet miliaran rupiah. Besarnya penghasilan itu juga yang membuat sang Kades dan para premannya tega membunuh dengan keji Salim Kancil, warga penolak tambang.
Berdasarkan penelusuran Republika, dalam satu hari, rata-rata 300 truk pengangkut pasir keluar-masuk area penambangan. Sementara, harga pasir per truk berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 400 ribu, tergantung dari besaran truk.
Menurut seseorang yang tahu persis bisnis ini, selain dari pembayaran pasir, truk-truk pengangkut pasir juga dikenakan pungutan masuk atau disebut “uang portal”, sebesar Rp 30 ribu hinga Rp 35 ribu per kendaraan.
Jika dikalkulasikan berdasarkan keterangan sumber tersebut, pendapatan dari transaksi pasir mencapai Rp 1,8 milair hingga Rp 3,6 miliar per bulan. Sementara dari uang portal, didapat tambahan pemasukan sebesar Rp 270 juta hingga Rp 315 juta per bulan.
Sumber tersebut menyebutkan, tiga unit eksavator yang beroparasi di penambangan adalah milik sang kades sendiri. “Iku duwene dewe, oleh ngredit. Aku yo diundang slametane, (itu punya dia sendiri, saya diundang waktu syukuran) ” ujar sumber itu.
Menurut Keterangan Aktivis Laskar Hijau A’ak Abdullah Al Kudus yang mengadvokasi kasus pembunuhan Salim Kancil, pasir dari tambang Desa Selok Awar-Awar hanya sampai di pengepul yang berada di sekitar Lumajang. Oleh pebinis yang lebih besar, kata dia, pasir besi dari pengepul dibawa ke tempat pengolahan di Surabaya, Sidoarjo atau Gresik untuk diolah menjadi konsentrat.