REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibu kota Jakarta diprediksi mengalami krisis lahan makam pada 2017. Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga menyebut, saat ini tersisa 50 hektare lahan makam. Sementara pertahun kebutuhan lahan untuk makam di Jakarta sekitar 31,5 hektare.
"Oleh karena itu, sistem pemakaman kita harus segera dimodifikasi," kata dia pada Ahad (4/10).
Jika tidak, terpaksa masyarakat Jakarta yang meninggal tidak bisa dimakamkan di Jakarta, tapi di wilayah pinggiran. Diakuinya, pembebasan lahan pemakaman di perkotaan memang agak sulit. Oleh sebab itu perlu segera dilakukan reformasi peraturan Agraria terkait lahan pemakaman. Apalagi, dalam satu tahun ada lebih dari 100 orang meninggal dunia di Jakarta.
Tak berhenti di urusan keterbatasan lahan. Pemakaman juga kerap beralih fungsi. Salah satu contohnya yakni Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blok P Kebayoran Baru. Sejak 1997 gedung tersebut sudah menjadi Gedung Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan.
Oleh sebab itu, dia berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa menambah lahan makam dan menjaga lahan pemakaman agar tidak beralih fungsi kembali. Memang, dia tidak memungkiri perawatan lahan pemakaman memang membutuhkan dana yang sangat besar.
Namun tetap harus diupayakan demi menciptakan 30 persen bagian dari kota yanh termasuk ruang terbuka hijau. Salah satunya, lanjut dia, dengan mengubah TPU menjadi taman. Ia bahkan bisa dirancang menjadi obyek wisata spiritual.
Jakarta sudah punya contoh nyata pembentukan taman di makam. Yakni TPU Menteng Pulo dengan rumput datar dan hanya dipatok oleh nisan. Sehingga, perawatannya lebih bisa dilakukan dengan baik. Selain itu dia menyambut baik langkah Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta untuk merubah citra TPU menjadi taman.
Ia pun mencontohkan contoh ideal lain soal pemakaman yang menjadi makam di wilayah New Orlands. Ia terkenal dengan sebutan City of Dead. Pemakaman di wilayah tersebut jauh dari kesan menakutkan. Bahkan ia masuk sebagai satu dari 10 obyek wisata di Amerika yang wajib dikunjungi.