REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabareskrim Polri, Komjen Anang Iskandar mengatakan, mekanisme penanganan tindak pidana Pilkada berbeda dengan tindak pidana lainnya. Pasalnya, polisi menggunakan acuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
"Hubungan formil dan materil sudah lengkap dalam UU ini, jangan lagi berprentasi pada KUHAP dan KUHP," ujar Anang, saat acara Seminar Pilkada Serentak Permasalahan dan Pemecahannya, di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, Selasa (6/10).
Anang mengaku sudah memberikan arahan kepada penyidik reserse seluruh Indonesia guna menangani tindak pidana pilkada. Namun, polisi tidak dapat serta merta melakukan penindakan jika mengetahui tindak pidana pilkada di lapangan.
Polisi akan menindaklanjuti tindak pidana pilkada apabila ada laporan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Standar Operasional (SOP) pengusutan tindak pidana Pilkada baru akan ditanda tangani bersama Kapolri, Jaksa Agung, KPU, dan Bawaslu, Kamis (8/10).
Lebih lanjut, Anang menjelaskan, dalam tindak pidana ini, penyidik akan menentukan syarat formil maupun materil. Termasuk pasal yang dapat digunakan agar dapat dibawa ke pengadilan. Bawaslu, lanjutnya, sangat berperan dalam menentukan apakah suatu kasus dapat dibawa ke kepolisian.
"Kalau tindak pidana memenuhi syarat baru diserahkan ke polri dengan waktu 14 hari. maka perlu benar-benar memahami," kata Anang.