REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kasus dualisme Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat ini dalam proses kasasi di Mahkamah Agung (MA). Karena itu, senior PPP memilih menunggu putusan kasasi MA untuk menyelesiakan kemelut internal partai berlambang Ka'bah tersebut.
Senior PPP M Rodja menyatakan, putusan kasasi MA harus menjadi proses terakhir dari persoalan PPP. Dia berharap, putusan MA berbasis keadilan hukum dengan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi TUN tanggal 10 Juli 2015 yang menguatkan keputusan Menkumham Nomor M.H H-07.AH.11.01.TAHUN 2014. Sebab, dalam setahun terakhir hanya kepengurusan hasil Muktamar VIII Surabaya yang bergerak hingga ke tingkat bawah.
“PPP yang real itu ya hasil Muktamar Surabaya, mayoritas pemilik suara sah hadir. Semoga MA menguatkan keputusan Pengadilan Tinggi TUN sehingga persoalan PPP selesai baik secara formal maupun nonformal,” kata M Rodja melalui siaran persnya yang diterima Republika, Rabu (14/10).
Pihaknya menolak usulan Muktamar ketiga ataupun muktamar bersama, sebab justru akan memperburuk PPP. Selain itu, pelaksanaan Muktamar ketiga dinilai inkonstitusional.
“Muktamar ketiga ataupun Muktamar bersama bukanlah solusi justru sebaliknya. Belum lagi dasar hukum pelaksanaan muktamar bersama itu apa? Justru itu semakin menambah masalah,” katanya.
Ketua DPP PPP Isa Muchsin menambahkan, proses konsolidasi politik terus dilakukan oleh pengurus hasil Muktamar Surabaya. Bahkan, lanjut dia, Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy (Romi) sudah melakukan konsolidasi di 34 provinsi.
“Yang sungguh-sungguh bergerak untuk melakukan konsolidasi, pembinaan, dan kaderisasi partai ke seluruh daerah, ya hasil Muktamar Surabaya. Ketum Romi berkeliling seluruh Indonesia membuka Muswil, dan itu belum pernah dilakukan oleh pengurus sebelumnya,” katanya
Isa mengungkapkan, proses politik secara de facto tersebut tidak boleh dinafikan. Karena itu, pihaknya optimistis putusan MA nantinya akan memperkuat putusan Pengadilan Tinggi TUN. Terlebih, fakta-fakta hukum semakin menguatkan hasil Mukatamar Surabaya.
“Nanti dengan putusan kasasi di MA persoalan PPP akan selesai dengan sendirinya,” bebernya.
Secara terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun berpendapat, putusan kasasi MA menjadi jalan terakhir kasus dualisme PPP. Jika putusan MA menguatkan putusan Pengadilan Tinggi TUN, maka PPP hasil Muktamar Surabaya sah. Sebaliknya, jika kasasi MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi TUN, maka kepengurusan PPP kembali ke Muktamar Bandung.
“Kalau Menkumham kalah, tidak otomatis Djan Faridz menjadi ketua umum PPP. Kepengurusan PPP kembali ke Muktamar Bandung,” urainya.
Dia menambahkan, putusan MA terkait kasus PPP bepengaruh terhadap tatanan politik di Indonesia. Hal itu juga akan mempengaruhi peta koalisi.