REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengenai tata cara pemilihan kepala daerah masuk dalam ranah ijtihadiyah. Dalam Alquran, hadis, serta atsar para sahabat hingga tabiin, tidak ditemukan aturan baku yang bisa menjadi tuntunan umat Islam dalam memilih kepala daerah. Jadi, persoalan pilkada langsung atau melalui jalur legislatif kembali kepada hukum asalnya sebagai cabang muamalah Al-Aslu fil mu'amalah, al-ibahah (hukum asal dalam persoalan muamalah adalah boleh).
Namun, tentu saja pembahasan tak berhenti di kaidah hukum asalnya. Ijtihad para ulama berlanjut mengkaji aspek manfaat dan mudharatnya. Mengacu pada kaidah fikih, "menolak kemudharatan harus didahulukan daripada meraih kemaslahatan."Di samping itu, bisa juga berpatokan pada kaidah fikih, "Apabila ada dua mudharat yang saling ber- tentangan, hendaknya dijaga bahaya yang lebih besar dengan mengambil risiko bahaya yang lebih kecil."
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam putusan fatwanya soal pilkada langsung menyatakan tak setuju dengan model pemilu demikian. Dalam rekomendasi Munas ke-VIII MUI tahun 2010 lalu, MUI menyebut pilkada langsung mempunyai mudharat lebih banyak dari manfaatnya.
Dari segi mudharatnya, menurut MUI, pilkada langsung dalam perpolitikan nasional sering diwarnai praktik kapitalisme dan liberalisme. Pemilik modal kuat sebagai kapitalis tentu mendominasi bursa politik. Akibatnya, rakyat yang memilih pemimpin tak lagi mempertimbangkan kapabilitas, kapasitas, dan integritas si calon kepala daerah.
Demikian juga, pilkada langsung kerap memicu konflik horizontal antar-pendukung calon. Di samping itu, pilkada langsung menghabiskan anggaran dana yang sangat fantastis. Pemborosan uang negara dan dana dari masyarakat sendiri dihambur-hamburkan untuk tujuan yang tak bermanfaat.Padahal, dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembangunan, pemberdayaan, dan kesejahteraan masyarakat.
Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-IV yang digelar di Tasikmalaya tahun 2012 lalu merekomendasikan kepala daerah akan lebih afdal jika dipilih oleh DPRD provinsi, kota, atau kabupaten. Sedangkan, wakilnya bisa dipilih oleh gubernur, wali kota, atau bupati terpilih. Untuk mengawal jalannya proses pemilihan, DPR bisa membuat RUU yang tegas mengatur secara eksplisit.
RUU yang dilahirkan hendaknya menjadi solusi dari dinamika politik dan dialektika hubungan sosial bangsa saat ini.
Komisi Fatwa MUI berpendapat, pe- nye lenggaraan pilkada langsung selama beberapa kali memperlihatkan hasil yang mengecewakan. Kasus terbanyak, yakni kekacauan teknis. Mulai dari aspek pendaftaran pemilih, pendaftaran dan penetapan kepala daerah dan wakil kepala daerah, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta penetapan dan pengesahan pasangan calon terpilih.
Di samping itu, pilkada langsung harus dibayar mahal oleh penyelenggara (pemerintah) dan calon kepala daerah.
Ironis jika pemborosan anggaran untuk pilkada tersebut dilakukan ketika kondisi ekonomi bangsa yang tengah sulit. Dalam proses perjalanannya, selalu saja didapati politik uang (risywah siyasiyyah) dan politisasi birokrasi.
Calon kepala daerah yang diusung juga dipandang kurang berkualitas karena prinsipnya siapa yang bisa membayar mahal, dialah yang diusung.Bahkan, tak sedikit di antara calon ter- sebut yang terjerat kasus hukum.
Ketika pilkada langsung, terlihatlah disharmoni dalam hierarki kepemimpinan secara nasional.
Hal ini berpotensi membuat konfl ik horizontal antarelemen masyarakat yang dapat melibatkan unsur SARA. Untuk itu, apabila secara sosiologis-politis dan moral masyarakat belum siap, berdasarkan prinsip mendahulukan mencegah kemafsadatan, pemilihan ke- pala daerah sebaiknya dilakukan dengan sistem perwakilan di legislatif.
Kendati tak ada tuntunan syariat yang baku soal tata cara pemilihan kepala daerah, aturan dalam memilih pemimpin secara umum jelas ada dan harus diperhatikan. Di antaranya, memberikan amanah kepemimpinan memang kepada orang yang ahli dalam bidang tersebut.
Firman Allah SWT, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (QS an-Nisa [4]: 58). Di samping itu, Islam juga melarang umatnya agar tidak berambisi menjadi penguasa. Sabda Nabi SAW, "Kalian akan berambisi untuk menjadi penguasa.
Sementara, hal itu akan membuat kalian menyesal di hari kiamat kelak. Sungguh, hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan." (HR Bukhari dari Abu Hurairah RA). Tradisi dalam Islam sangat mencela orang yang meminta jabatan.
Rasulullah SAW bersabda, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Sebab, apabila jabatan itu diberikan kepadamu kare na engkau memintanya, jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun, apabila jabatan tersebut diberi- kan bukan karena permintaanmu, engkau akan dibantu dalam mengembannya."(HR Bukhari dari Abdurrahman bin Samurah RA).