REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah sudah mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV tentang formulasi upah minimum buruh. Namun, skema penghitungan kenaikan upah buruh ini dinilai semakin membuat terpuruk upah buruh yang saat ini sudah sangat murah.
Anggota komisi IX dari fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka mengatakan, dengan skema baru ini, kenaikan upah buruh diprediksi hanya sekitar 10 persen tahun depan. Ini tidak sesuai dengan kondisi riil pasar dan tidak memerhatikan survei pasar, serta menghapus peran tripartit dewan pengupahan.
Pemerintah, kata Rieke, justru dinilai membuat mekanisme pengupahan yang tidak realistis dan demokratis. “Formulasi upah minimum yang hanya ditentukan faktor pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah kesalahan fatal,” kata Rieke pada Republika.co.id, Sabtu (17/10).
Rieke menambahkan, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja ini yang memuat skema baru upah buruh ini akan menjadi kado pahit bagi buruh. Sebab, kenaikn upah hanya menggunakan pendekatan kenaikan upah berbasis angka semu, kemampuan daya beli riil buruh atau pekerja.
Pertumbuhan ekonomi, menurut Rieke, tidak tepat menjadi indikator upah minimum karena angka tersebut semu dan tidak mencerminkan tingkat daya beli dan keseahteraan buruh. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi hanya variable makro yang tidak relevan menjadi indikator perhutungan upah.
Selain itu, inflasi yang digunakan untuk menghitung kenaikan upah adalah inflasi tahun sebelumnya. Jadi, faktor ini tidak akan akurat karena belum menghitung indeks risiko ekonomi dimana sering terjadi fluktuasi dan ketidakstabilan.
“Formulasi upah juga tidak adil karena masih mengabaikan standar kebutuhan hidup bagi buruh yang berkeluarga,” tegas Rieke.