REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar ilmu Politik Universitas Pertahanan (Unhan) Salim Said mengatakan, masih banyak sumber data mengenai berbagai peristiwa di seputaran tragedi G-30-S/PKI yang masih belum bisa dibuka. Selama ini, sumber data yang diungkap baru berasal dari arsip yang memakai bahasa Inggris atau berasal dari negara-negara barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris.
''Memang, sampai kapan pun saya merasa kepastian mengenai peristiwa G-30-S/PKI akan terus menjadi misteri. Banyak hal yang akan tak bisa terungkap. Dalam soal arsip, misalnya, arsip yang berasal atau memakai bahasa Cina dan Rusia tentang peristiwa itu belum dibuka. Nah, kita tunggu seperti apa isi arsip itu bila nanti sudah bisa dibaca,'' kata Salim Said dalam acara peluncuran buku yang ditulisnya 'Gestapu 65: PK, Aidit, Sukarno, dan Suharto' di Aula Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (21/10).
Salim mengatakan, agar lebih sempurna pemahaman mengenai soal Gestapu 65 maka generasi masa kini yang menguasai dua bahasa itu hendaknya memulai penelusuran isi arsip tersebut. Alhasil, bila nanti arsip berbahasa Cina dan Rusia sudah dibaca oleh 'para anak bangsa' maka misteri yang ada di balik peristwa berdarah itu akan banyak terkuak.
''Terus terang, peristwa Gestapu 65 adalah sebuah luka yang tak hanya bersifat pribadi, tapi sudah menjadi luka bangsa secara keseluruhan. Untuk itu, sebagai sebuah bangsa yang besar maka bangsa Indonesia harus bisa menyelesaikan masalah ini secara beradab,'' kata Salim.
Menurut Salim, untuk menuntaskan kasus Gestapu 65 ke depan diyakini tidak dapat diselesaikan secara tergesa-gesa. Apalagi, setelah era Orde Baru Indonesia tak mungkin lagi punya presiden yang 'kuat'. Kekuatan politik di bangsa ini tidak ada lagi ada yang dominan.
''Apakah Presiden Joko Widodo bisa menuntaskan soal Gestapu ini? Saya kira tidak. Apalagi, beliau bukan presiden yang 'kuat'. Selain itu, pada saat yang sama presiden juga punya tugas lain yang sifatnya begitu mendesak,'' tegas Salim Said.
Sesepuh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Reubik Indonesia (PMKRI) Harry Tjan Silalahi menyatakan secara khaqul yakin pada 30 September 1965, PKI memang mendalangi pemberontakan. Tindakan nekad PKI ini di seputaran hari meletusnya peristiwa pembantaian para jenderal itu memang sudah terasa dengan jelas.
''Peristiwa itu ada prolognya. Dua hari sebelum meledaknya G-30-S PKI itu pemimpin PKI dalam pertemuan dengan Bung Karno di Istana Negara menuding Bung Karno sembari meminta agar organisasi Himpunan Mahasa Islam (HMI) dibubarkan. Dan, rancangan surat pembubaran ini pun sudah dibawa-bawa oleh Subandrio. Namun, Bung Karno tak menyetujuinya,'' katanya.
Jadi, lanjut Harry Tjan, sebelum peristiwa Gestapu 65 meletus, para kader dan aktivis PKI memang gencar sekali melawan pihak yang tidak setuju kepada ideologi komunis. Dan, pertarungan dua kubu itu pun sudah sangat riil.
''Maka, boleh saja ada pihak yang mengatakan PKI tidak siap melakukan kudeta. Namun, kan kalau membaca pledoinya Sudisman, semua keputusan akhir mengenai perlu tidaknya melakukan perebutan kekuasaan sudah diputuskan agar di serahkan kepada Ketua Umum PKI, DN Aidit,'' kata Harry Tjan Silalahi.