REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktik korupsi dan suap yang melibatkan para wakil rakyat terus saja berlangsung. Bahkan jumlahnya semakin bertambah. Dalam dua pekan ini saja sudah ada dua wakil rakyat yang ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Ada yang menyebut, mereka berdua ini sebenarnya hanya celaka saja, lagi hari sial dan kebetulan tertangkap. Sesungguhnya yang ikut melakukan hal yang sama jumlahnya masih lebih besar. Mereka-mereka yang belum tertangkap tersebut juga kebetulan saja karena belum terdeteksi alat perekam dari penegak hukum,'' ujar Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Syamsuddin Alimsyah, Kamis (22.10).
Syamsuddin memaparkan beberapa alasan mengapa korupsi tumbuh subur di parlemen. Jauh sebelum pelatikan para wakil rakyat tersebut, lembaga ini pernah memublikasikan hasil studinya tentang pengelolaan keuangan partai politik dan relasinya dengan rekruitmen calon anggota legislatif (Caleg) pada pemilu 2014.
Dari hasil studi tersebut ditemukan betapa sulitnya seorang wakil rakyat akan terhindar dalam prilaku korupsi. Hal itu mengingat biaya politik saat pemilu yang sangat besar bahkan tidak terkendali. Untuk seorang caleg anggota DPR RI misalnya , ia mengatakan, dibutuhkan dana bisa sampai Rp 50 milyar lebih untuk membangun dan memaintenance pencitraan yang sudah harus dibangun jauh sebelum tahapan pemilu dimulai, dan pencitraan itu harus terus berlangsung hingga pasca pemilu.
Belum lagi saat terpilih, mereka sudah dibebani upeti yang bersifat wajib oleh partai politik. "Sewaktu-waktu ancaman pemberhentian atau pergantian antar waktu menjadi hantu yang sangat menakutkan baginya bila saja tidak taat menyetor atau menolak memberi setoran kepada partai," ujarnya.
Oleh karenanya, masih dalam studi tersebut menjelaskan perlunya memberi ruang bagi publik untuk terlibat secara aktif melakukan pengawasan, pemantauan atas kinerja dan prilaku bagi para wakil rakyat. Tentu pula dengan memperkuat peran lembaga penegak hukum, serta peningkatan profesionalisme lembaga auditor.