REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung bakal memeriksa pemegang saham mayoritas perusahaan telekomunikasi PT Mobile 8 Telecom (PT Smartfren) yang juga bos MNC Grup, Hary Tanoesudibyo terkait kasus kelebihan pembayaran pajak perusahaan tersebut.
"Ujungnya itu (pemeriksaan Hary Tanoe). Kita akan sisir semua," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Widyo Pramono di Jakarta, Jumat (23/10).
Dikatakan, pihaknya saat ini masih bekerja mengumpulkan alat bukti agar perkaranya benar-benar jelas, dengan menyisir satu per satu saksi. "Yang jelas saat ini kasus itu, masih penyidikan umum," katanya.
Sebelumnya, Kejagung mengakui pihaknya tengah menyidik dugaan korupsi penerimaan kelebihan bayar atas pembayaran pajak PT Mobile 8 Telecom (PT Smartfren) tahun 2007-2009.
Ketua Tim Penyidik kasus tersebut, Ali Nurudin, menyebutkan bahwa pada tahun 2007-2009, PT Mobile 8 Telecom telah melakukan perdagangan dengan salah satu distributornya yaitu PT Djaja Nusantara Komunikasi dalam bentuk produk telekomunikasi dalam jumlah Rp 80 miliar.
"Sebenarnya PT Djaya Nusantara Komunikasi tidak mampu untuk membeli barang tersebut dalam jumlah tersebut dan sesuai keterangan saudara Eliana Djaya sebagai Direktur PT Djaya Nusantara Komunikasi (DNK) bahwa transaksi perdagangan tersebut hanyalah seolah-olah ada dan untuk kelengkapan administrasi pihak mobile 8 telecom akan mentransfer uang sebanyak Rp 80 miliar ke rekening PT DNK," katanya.
Pada Desember 2007 PT Mobile 8 Telecom telah mentransfer sebanyak dua kali masing-masing sebesar Rp 50 miliar dan Rp30 miliar. "Untuk mengemas seolah-olah terjadi transaksi perdagangan pihak PT Mobile 8, invoice dan faktur yang sebelumnya dibuatkan purchase order yang seolah-olah terdapat pemesanan barang dari PT DNK, yang faktanya PT DNK tidak pernah menerima barang dari PT Mobile 8 Telecom," katanya.
Pada pertengahan tahun 2008, PT DNK kembali menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 Telecom dengan total nilai Rp 114.986.400.000, padahal PT DNK tidak pernah melakukan transaksi sebesar itu, tidak pernah menerima barang dan bahkan tidak pernah melakukan pembayaran.
Kerugian sementara atas kasus ini mencapai Rp 10 miliar. "Jadi, negara dirugikan sekitar Rp 10 miliar lah. Tidak menutup kemungkinan kerugian bertambah karena ini baru temuan awal," katanya.