Sabtu 24 Oct 2015 14:15 WIB

'Jokowi Belum Mampu Jadikan BUMN Pilar Ekonomi Kerakyatan'

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bayu Hermawan
Sekjen Fitra Yenny Soetjipto.
Foto: Fitra
Sekjen Fitra Yenny Soetjipto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mempertanyakan janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan membangun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi agen pembangunan. BUMN akan diarahkan menjadi pilar ekonomi kerakyatan sebagai respon dari UUD Negara RI 1945 pasal 33.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto mempertanyakan, jika memang Jokowi mengarahkan BUMN pada pilar ekonomi kerakyatan, harusnya bisa berkontribusi pada penerimaan negara. Hal tersebut otomatis dapat meminimalisir ketergantungan Indonesia pada lembaga keuangan internasional.

"Tetapi nyatanya itu tidak terjawab, di masa satu tahun pemerintahan, Jokowi malah menarik utang Rp 1000 triliun," ujarnya kepada Republika.co.id.

Padahal saat ini angka utang Indonesia sudah mencapai Rp 3000 triliun. "Ini tidak sesuai Nawacita yang ingin mencoba menghindari utang. Utang kita malah semakin tinggi," kata Yenny.

Ia melanjutkan, artinya BUMN tidak diarahkan menjadi pilar kerakyatan yang mampu menuju ke ekonomi mandiri yang berdaulat. Yenny mengatakan saat ini penerusan pinjaman baik kepada lembaga keuangan internasional maupun non keuangan internasional banyak diarahkan ke sektor-sektor perbankan.

"Ini seperti langkah halus untuk melakukan privatisasi," ucapnya.

Sebab saat ini kondisi keuangan bank-bank beprlat merah yang mendapat kucuran dana tersebut masih dalam kondisi sehat dan tidak memerlukan bantuan asing. Jika sepuluh tahun mendatang, bank ini tidak bisa melunasi utang, maka asetnya dapat disita.

"Ini privitasi halus yang dilakukan Kementerian BUMN. Ini agak sedikit jauh dari rel-nya Nawacita," ungkapnya.

Menurutnya, pemerintah harus melakukan optimalisasi penerimaan negara. Sangat disayangkan kebijakan ekonomi yang lahir terlalu ramah ke investor, sebab hal itu khawatir ini semakin menghilangkan potensi penerimaan.

Potensi penerimaan berkaitan dengan ruang fiskal APBN. Apabila ruang fiskal sedikit, maka defisititnya semakin melebar dan akan diarahkan ke utang.

"Kalau utang dilakukan, maka seperti pengalaman yang lalu-lalu, 30 sampai 40 persennya lari ke pembayaran bunga dan cicilan. Kita tidak akan pernah menuju ekonomi berdaulat dengan cara ini," jelasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement