REPUBLIKA.CO.ID, MANADO--Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 9 Desember mendatang masih perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI mengindikasikan banyaknya potensi kecurangan yang mengancam proses demokrasi tersebut.
Ketika berada di Manado, Sulawesi Utara (Sulut), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menjabarkan masalah-masalah jelang Pilkada 2015. Bahkan, dalam pidatonya, ia menekankan agar pemerintah daerah memprioritaskan pengawasan di tingkat kecamatan.
"Kalau ada camat melakukan kecurangan, umumkan, lalu pecat saja," kata Tjahjo, dalam kunjungan kerja Mendagri di aula pertemuan Rumah Dinas Gubernur Sulut, Manado, melalui keterangan pers kepada Republika pada Kamis (29/10).
Selain itu, ada juga 10 daerah yang diduga mempermainkan proses penyelenggaraan pemilu. Modusnya adalah membatasi anggaran untuk KPU. Padahal, dana tersebut, kata Tjahjo, sudah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Namun, ada upaya pemotongan anggaran.
Misal, dia menambahkan, kebutuhan Pilkada di satu daerah sebesar Rp 10 miliar. Oknum tersebut jumlah memotong jadi Rp 5 miliar. Belum lagi, soal Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tjahjo menekankan agar daerah mewaspadai penggunaan KTP ganda. Itulah mengapa, ia ingin segera menerapkan sistem E-voting pada 2019. Dengan begitu, pendataan terhadap pemilih dianggap akan lebih valid.
Saat ini jajaran Menkopolhukam masih terus melakukan pengecekan dan pemantauan penyelenggaraan pilkada serentak tahap pertama. Sebanyak 269 daerah akan melangsungkan proses demokrasi ini.
Pejabat Gubernur Sulut, Sony Sumarsono menambahkan, dari 2,5 juta penduduk, jumlah pemilih di provinsi itu sebanyak 1,9 juta orang. Penyelenggaraan Pilkada di daerahnya serentak memilih Gubernur dan 7 bupati/wali kota. Total anggaran untuk pemilu ini sebesar Rp 179 miliar.