REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Diplomasi sawit Indonesia di Eropa mulai menunjukkan hasil. Bicara di hadapan 300-an peserta dari berbagai negara Eropa pada European Palm Oil Conference di Milan pada Kamis (29/10), paparan Indonesia yang diwakili oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit telah berhasil mendorong kesepakatan penting.
Pertemuan menyepakati sawit tetap akan diperlukan di Eropa, baik untuk bahan makanan maupun keperluan lain seperti kosmetik dan biofuel.
Kesimpulan konferensi menyebutkan bahwa pengganti sawit belum tentu lebih baik bagi kesehatan tetapi jelas lebih buruk bagi lingkungan. Poin penting yang dihasilkan termasuk kesepakatan bahwa memboikot sawit bukan solusi untuk masalah lingkungan.
Adapun solusi lingkungan di antaranya adalah memastikan semua sawit yang diproduksi memperoleh sertifikat keberlanjutan (Certified Sustainable Palm Oil). Kesimpulan itu merupakan kemajuan besar dalam promosi antikampanye negatif Indonesia.
Menurut Stefano Savi Direktur RSPO yang berbicara di konferensi tersebut, saat ini produksi sawit yang memperoleh sertifikat berkelanjutan telah mencapai 12 juta ton. Sebanyak 51 persen diantaranya diproduksi di Indonesia. Dengan demikian Indonesia adalah produsen CSPO terbesar di dunia.
Hal yang lebih menjanjikan lagi, lanjut Stevano, perkembangan petani kecil yang menerima sertifikat CSPO di Indonesia juga sangat pesat. Pada 2010 saja luas lahan petani kecil yang menerima sertifikat baru sebanyak 850 hektare. Hingga September 2015 jumlah itu telah berkembang mencapai 145 ribu hektare dan melibatkan lebih 40 ribu petani.
Ekspor sawit Indonesia ke Eropa pada 2014 mencapai sekutar 3,09 juta ton. "Utamanya masuk melalui Belanda dan Italia," ujarnya. Sedangkan ekspor sawit Indonesia ke Eropa merupakan yang ketiga terbesar setelah ekspor ke India 3,87 juta ton dan ke China 3,2 juta ton.