REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, Syamsuddin Alimsyah menyatakan sulit bagi anggota DPR dan DPRD sekarang untuk menghindar dari prilaku korupsi. Alasannya, mengingat cost politik saat pemilu lalu yang sangat besar.
Untuk DPR RI misalnya, Syamsuddin mengatakan rata-rata seorang caleg bisa menghabiskan sampai Rp 50 miliar lebih. Belum lagi saat terpilih, mereka sudah dibebani upeti yang bersifat wajib oleh partai. "Karenanya memang selain pengawasan publik, penegak hukum terutama yang harus diperkuat," ujarnya, Rabu (25/11).
Dia mengatakan, prilaku korupsi akan terus dipelihara anggota DPR dengan cara misalnya meningkatkan biaya dana reses dan menambah volume. Menambah kegiatan perjalanan keluar negeri dan bahkan main proyek seperti yang terjadi pada kasus Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura.
Syamsuddin mengatakan, bagi Kopel, kasus ini tidak berdiri sendiri individu tapi juga terkait dengan tata kelola keuangan partai. Juga berkaitan dengan kebijakan partai yang secara tidak langsung memosisikan kadernya sebagai duta atau marketing untuk pencari pundi-pundi pendapatan.
"Selama kebijakan ini terus berlanjut maka korupsi anggota DPR terus berpotensi akan selalu ada. Akibatnya kepercayaan publik juga bagi lembaga ini akan hilang. DPRD =tidak akan bisa bekerja optimal karena kepercayaannya sendiri sudah hilang di mata konstituennya," ujarnya.
Kopel juga memandang penting mengevaluasi mekanisme pelaporan dan audit parpol. Menurutnya, BPK atau akuntan publik yang ditunjuk harus bekerja secara proposional. Parpol yang laporan keuangannya amburadul dengan mendapatkan predikat opini buruk (disclaimer) harusnya tidak boleh ikut pemilu.
"Bagaiamana parpol dipercaya sebagai laboratorium lahirnya pemimpin bangsa kalau tata kelolanya sendiri amburadul dan korup," ujarnya.