REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam membuat suatu gerakan atau kegiatan, mahasiswa tentu membutuhkan dana untuk menggerakkan sebuah organisasi. Untuk mendapatkan dana tersebut, tidak sedikit dari mereka yang mengandalkan bantuan dari pemerintah atau para seniornya yang telah menjadi pejabat negara.
Namun, berbeda dengan apa yang dilakukan Abdullah Hehamahua saat menjadi ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) pada 1979-1981. Ia mengelola organisasi Islam tersebut justru tak pernah meminta uang sedikitpun dari pemerintah.
Abdullah menceritakan, ia mengajukan syarat ketika diberikan mandat menjadi ketua umum PB HMI waktu itu. Syaratnya adalah ia sama sekali tidak mau menerima bantuan dari pemerintah untuk menjalankan roda organisasinya.
“Saya waktu jadi ketua PB HMI selama dua tahun, satu sen pun saya tidak terima dari pemerintah, satu sen pun tidak, baik dari kementerian dan sebagainya,” kata mantan penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut kepada Republika.co.id beberapa waktu lalu.
Dalam mengelola organisasi mahasiswa tersebut, Abdullah membuat program-program yang bersifat ke-umat-an dengan meminta bantuan dari majelis taklim, walaupun dalam bentuk recehan.
“Saya beritahu kepada pengurus HMI, mari buktikan bahwa HMI itu organisasi islam, milik umat islam, dibiayai oleh umat Islam, bukan oleh pemerintah, bukan oleh Golkar,” katanya.
Abdullah mengatakan, saat itu ia juga mengadakan seminar kekaryaan untuk pertama kalinya di HMI. Alasanya, karena dia memprediksi dengan adanya arus globalisasi, masyarakat sudah tidak akan lagi membicarakan hubungan kekeluargaan atau hubungan organisasi lagi.
”Saat ini masyarakat akan membicarakan tentang potensi, pofesionalisme, dan skill dari mahasiswa tersebut. Jauh sebelum otonomisasi daerah saya sudah mengantisipasi itu,” ujar Abdullah.
Selama mengemban amanat tersebut, ia berharap apa yang telah dirintisnya dalam bentuk lembaga kekaryaan tersebut dilakukan oleh generasi-generasi sekarang. Dengan demikian, kata dia, para anggota organisasi mahasiswa tidak perlu berebut lagi untuk menjadi ketua umum atau menjadi anggota DPR, karena mereka sudah aktif berwirausaha.
Ia mencontohkan, seperti halnya mahasiswa dari fakultas kedokteran, jika dia aktif di lembaga kesehatan organisasi HMI, maka profesionalismenya akan berkembang dan kemampuan wirausahanya akan muncul. Sehingga, ketika dia sudah lulus dia tidak perlu ikut-ikutan melamar kerja untuk menjadi seorang PNS. Dia akan dapat berwirausaha sesuai dengan jurusan yang digelutinya tersebut.
“Begitu juga dengan lembaga lainnya, seperti pers, pendidikan, dan hukum. Jika lembaga seperti itu diaktifkan semua di dalam organisasi, dia akan menciptaan lapangan kerja, bukan mencari kerja," jelasnya
Semua itu merupakan konsep yang Abdullah lakukan saat mengadakan seminar lembaga kekaryaan saat itu. Namun, pemerintah orde baru kemudian membuat mahasiswa menjadi elitis, sehingga mahasiswa tidak punya kuasa lagi untuk beraktifitas dengan cara membuat sistem SKS.
“Sekian tahun kuliah kalau gak selesai di-DO, kemudian mahasiswa sekarang jadilah elitis, tidak punya semangat wirausaha. Mereka hanya mengharapkan saja sesuap nasi dari pemerintah,” katanya
Menurut Abdullah, sejak kebijakan tersebut dikeluarkan, apapun keinginan pemerintah, meskipun mahasiswa mengetahui bahwa pemerintah tersebut melakukan kesalahan, mereka akan tetap mengikutinya.
“Apapun keinginan elit politik mau kemanapun ikut saja, seperti itu kira-kira," ujarnya.
Saat Orde Baru muncul, kata dia, HMI berada di posisi yang sangat terdepan, karena alumni HMI banyak yang menjabat di lembaga eksekutif ataupun legeslatif. Saat itu, karena merasa alumninya ada di mana-mana, kemudian kader HMI menjadi manja dengan hanya meminta dana kepada seniornya yang menjadi pejabat.
“Karena menjadi elite, sehingga mengharapkan apa saja dari pemerintah atau dari alumni, kemudian mereka datang ke alumni di setiap ada kegiatan dengan membawa proposal,” ucap Abdullah
Menurutnya, jika alumni yang dimintai dana tersebut merupakan seorang pengusaha tidak menjadi persoalan, tapi jika alumninya merupakan seorang pejabat akan berpotensi untuk melakukan korupsi.
“Saya selalu katakan kalau ada senior yang membantu kepada organisasi, itu karena tanggung jawab moral. Tapi, kalau ada alumni yang bantu HMI karena mau ikut pilpres, pilkada, atau caleg, alumni begitu buang dia ke got,” tegasnya.