Jumat 11 Dec 2015 16:04 WIB

BI Sebut Tekanan Rupiah Mulai Melonggar

Rep: Binti Sholikah/ Red: Nur Aini
Pekerja memperlihatkan kartu e-money berlogo Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) 'Cinta Non-Tunai, Cinta Rupiah' di pusat perbelanjaan, Jakarta, Kamis (19/11).  (Republika/Tahta Aidilla)
Pekerja memperlihatkan kartu e-money berlogo Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) 'Cinta Non-Tunai, Cinta Rupiah' di pusat perbelanjaan, Jakarta, Kamis (19/11). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah kembali terdepresiasi mencapai hampir Rp 14 ribu per dolar AS pada pekan ini. Hal itu diperkirakan akibat sentimen pasar mendekati rapat FOMC Bank Sentral AS pada 16 Desember 2015.  

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo melihat nilai tukar rupiah saat ini ada tekanan lebih karena kondisi global. Kondisi global tersebut antara lain, menjelang rapat FOMC pada 16 Desember 2015. Selain itu, ekonomi Cina masih melemah serta harga komoditi terus tertekan.

"Harga minyak tertekan, OPEC memutuskan lebih menjaga produksi dan kita melihat ini adalah sumbernya, dan untuk itu kita melihat ini adalah sesuatu yang dapat dipahami, kita akan bisa melewati ini," jelasnya kepada wartawan di kantor pusat Bank Indonesia Jakarta, Kamis (10/12) petang.

Agus menegaskan, Bank Indonesia akan selalu berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Dia menyebutkan, depresiasi nilai tukar rupiah juga dipengaruhi kondisi lain seperti pembayaran utang yang jatuh tempo cukup besar. Jika utang yang jatuh tempo pada Desember 2014 nominalnya sekitar 8 miliar dolar AS, saat ini naik menjadi kira-kira 12 miliar dolar AS, kebutuhan akan valuta asing cukup tinggi.

"Namun secara umum kita hadapi ini secara baik karena Bank Indonesia selalu berada di pasar. Jika dibandingkan dengan kondisi kuartal ketiga, tekanan yang ada saat ini tidak setinggi pada kuartal ketiga," ungkapnya.

Gubernur BI merinci, nilai tukar rupiah secara tahun kalender atau year to date terdepresiasi sekitar 12 persen. Jika dibandingkan beberapa negara ada yang terdepresiasi di atas 20 persen.

Agus menambahkan, secara umum, nilai tukar dolar AS justru melemah terhadap mata uang negara utama yang besar. Namun, dolar AS menguat dibandingkan negara umum khususnya negara berkembang. Menurutnya, kondisi tersebut masih akan terjadi.

Meski demikian, bank sentral masih yakin Indonesia adalah negara yang berkomitmen untuk melakukan reformasi struktural dan menjadi salah satu pilihan bagi investor.

 

Di samping itu, ada kekhawatiran pasar jika ekonomi Cina terus melemah ada kemungkinan mendevaluasi yuan lagi. Namun, BI lebih dikhawatirkan harga komoditas dan harga minyak yang terus melemah.

"Nah ini kita masih lihat akan terjadi di 2016. Jadi ini kondisi yang perlu kita waspadai," ucapnya.

Berdasarkan kurs tengah JISDOR, nilai tukar rupiah ditetapkan Rp 13.937 per dolar AS pada Jumat (11/12), menguat 15 poin dibandingkan Kamis (10/12) di level Rp 13.954 per dolar AS.

Sedangkan menurut Bloomberg, perdagangan rupiah dibuka di level Rp 13.939,5 per dolar AS pada Jumat. Sedangkan perdagangan Kamis, rupiah ditutup di level Rp 13.953 per dolar AS.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement