REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf, meminta pemerintah segera memperkuat regulasi untuk mengatur harga obat-obatan di Indonesia yang tergolong mahal. Regulasi tersebut bisa dalam bentuk peraturan presiden ataupun peraturan menteri kesehatan. Menurut Syarkawi, regulasi tersebut dapat mencegah bangkrutnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Ini memprihatinkan karena kalau ini kita ndak atasi segera, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kita bisa bangkrut," jelas Syarkawi usai menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin (14/12).
Saat ini, di Indonesia, terdapat tiga jenis obat yang tersedia, yakni obat generic, obat generic bermerk, serta obat paten. Padahal seharusnya cukup dua jenis obat saja yakni obat paten dan obat generic. Celakanya, kondisi itu diperparah dengan tak diaturnya Harga Eceran Tertinggi (HET) obat paten dan obat generic bermerk.
"Yang ada aturan mainnya hanya harga eceran tertinggi untuk (obat) generic. Meskipun di pembungkus obat untuk obat generic bermerk itu ada HET, tapi HET itu ditentukan sendiri oleh produsen obatnya. Nah, harapan kita ini nggak boleh seperti itu. Harus ditentukan oleh pemerintah melalui regulasi harga eceran tertinggi," jelas Syarkawi.
Syarkawi mengkhawatirkan, jika pemerintah tak mengatur harga obat di Indonesia, maka beban JKN untuk membayar obat-obatan serta memberikan pelayanan kesehatan pun semakin tinggi. Sistem Jaminan Kesehatan di Indonesia pun nantinya dapat bernasib sama dengan Yunani, yakni mengalami kebangkrutan.
Menurut dia, Indonesia dapat memanfaatkan kebijakan TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights) flexibility dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk memproduksi obat-obat paten atas nama kepentingan nasionalnya sendiri. Sehingga, Indonesia pun dapat memproduksi obat-obatan dengan harga yang lebih murah.
Kebijakan semacam ini telah digunakan oleh sejumlah negara seperti India, Cina, Thailand, dan negara lainnya. Syarkawi mengatakan, Indonesia pernah memanfaatkan kebijakan TRIPS flexibility, namun masih terbatas pada dua jenis penyakit, yakni HIV AIDS dan hepatitis.