REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Populi Center, Nico Harjanto, menilai dikotomi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) sudah tidak relevan. Dalam kiprahnya di parlemen partai-partai yang tergabung di dua koalisi besar itu dianggap kerap satu suara.
''Saya kira KIH-KMP sudah tidak relevan. Seperti diketahui, dalam sejumlah isu-isu besar, partai-partai politik di dua koalisi besar itu kerap seiya-sekata,'' ujar Nico kala dihubungi Republika.co.id, Kamis (24/12).
Nico pun memberi contoh, isu-isu besar seperti penerimaan Budi Gunawan sebagai Kapolri, masalah APBN, kemudian usulan-usulan petinggi negara seperti Kepala BIN dan Panglima TNI, partai-partai yang tergabung di KIH-KMP cenderung satu suara.
Kendati begitu, Nico mengakui, keberadaan KIH-KMP memang masih dipertahankan demi melegitimasi keberadaan sejumlah elit-elit politik.''Sebenarnya tidak begitu relevan (dikotomi KIH-KMP), tapi karena masih ada sisa-sisa romantika Pilpres lalu, isu KIH-KMP masih digunakan untuk melegitimasi keberadaan beberapa elit politik tertentu, seperti Aburizal Bakrie, Idrus Marham, Prabowo, Hatta Rajasa, Anis Matta, dan Djan Faridz. Individu-individu itu yang sebenarnya masih membutuhkan KMP,'' kata Nico.
Penjelasan dan pendapat mengenai dikotomi KIH-KMP ini muncul terkait pertemuan yang dilakukan oleh sejumlah petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan Presiden Joko Widodo, awal pekan ini. Pertemuan itu pun memicu dugaan adanya upaya yang dilakukan PKS untuk keluar dari KMP dan merapat ke koalisi partai pendukung pemerintah, KIH.