REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Berbagai cara dilakukan komunitas Gusdurian Malang untuk memupuk perdamaian dan toleransi beragama. Pada malam Natal, komunitas ini mengunjungi empat gereja untuk mengucapkan selamat Natal dan juga berdialog dengan umat Kristiani.
Mereka juga memasang spanduk ucapan Natal. Pegiat Gusdurian Malang, Anas Ahimsa menjelaskan kunjungan tersebut, terinspirasi dari pemikiran mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa dipanggil Gus Dur. "Spirit yang bisa kami ambil dari sembilan nilai utama Gus Dur, yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan, sesederhanaan, kesatriaan, serta kearifan tradisi," jelasnya, Jumat (25/12).
Anas mengatakan dengan melakukan kunjungan ini Gusdurian Malang berharap masyarakat juga bisa memaknai perbedaan, dan bertoleransi, sesuai spirit dan pemikiran Gus dur. Selain itu, kegiatan ini juga untuk menjalin tali silahturahmi dengan umat yang lain.
Empat gereja yang dikunjunjungi itu adalah Gereja Katedral Ijen, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sukun, GPIB manuel GPIB Immanuel, dan GKI Kebon Agung. Dalam kunjungan-kunjungan tersebut, belasan pemuda pemudi Gusdurian Malang berbincang dengan pemuka agama terkait Natal sembari mengucapkan Selamat Natal. Mereka juga disambut dengan tangan terbuka.
"Kunjungan Natal Damai ini merupakan pembelajaran bagaimana kami harus siap dalam menerima perbedaan secara langsung, dan belajar berpikir terbuka terhadap agama di luar diri kami," tutur Anas.
Anas mengatakan perdamaian akan mustahil dicapai kalau masih punya prasangka buruk pada umat agama lain. Anas melanjutkan, kunjungan ke gereja saat malam Natal ini sudah dilakukan dalam tiga tahun terakhir. Dia berharap, anggota Gusdurian yang mayoritas Muslim bisa menebar spirit perdamaian. ”Apalagi semua agama mengajarkan kita kebijaksanaan,” tambahnya.
Sementara itu, Pendeta Kristanto Budiprabowo yang juga menjadi penasehat Gusdurian Malang menambahkan, tentang tema Natal dari PGI-KWI tahun ini adalah Hidup Bersama Sebagai Keluarga Allah.
Menurut dia, tema besar ini untuk menjawab sejumlah pertanyaan mendasar seperti siapakah keluargamu, siapakah yang layak disebut keluarga Allah dan seperti apakah hidup bersama itu. ”Pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab dengan tindakan konkrit sehari-hari,” katanya.