REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan Indonesia kini darurat dalam masalah terorisme, karenanya semua pihak harus serius mencegah sedari dini gerakan radikal yang berpotensi menimbulkan teror.
"Ini (negara) bisa gagal kalau tak bisa menangani. Penembakan dan bom bisa terjadi di jarak satu kilometer dari Istana Negara, itu tidak ada yang menyangka bisa terjadi. Siapa sangka ISIS begitu cepat di Indonesia," kata Tjahjo saat memberikan pengarahan kepada gubernur serta bupati/wali kota se-Riau di Kota Pekanbaru, Jumat (22/1).
Karena itu, ia meminta pemerintah daerah benar-benar mencermati gelagat perubahan lingkungan yang terjadi di wilayahnya masing-masing. Mendagri menyatakan upaya menangkal dan mendeteksi gerakan radikal dan terorisme tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada Badan Intelejen (BIN) di daerah, karena lembaga tersebut masih terkendala minimnya tenaga.
"Kadangkala ada laporan BIN daerah minta data intelkam dari Bais, intel Kodim, intel Polres. BIN daerah jangan diandalkan, karena kurang tenaga," ujar Tjahjo.
Ia meminta agar pemerintah daerah bisa segera memetakan area-area rawan, tidak hanya kerawanan gerakan radikal, melainkan juga area rawan bencana serta rawan korupsi.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Gubernur Riau Arsyadjuliandi (Andi) Rachman menyatakan saat ini terdapat 1.200 organisasi kemasyarakatan (ormas) yang terdaftar, namun belum ada satu pun yang mengarah pada gerakan radikalisme. Dari jumlah tersebut, hanya 150 Ormas yang memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) yang masih berlaku.
"Ini data yang didapatkan setelah berkonsultasi dengan Polda Riau," kata Andi Rachman.
Ia menambahkan, Polda Riau telah memiliki data terkait tentang pengikut ISIS di daerah tersebut yang terus dalam pengawasan. "Seluruh aktivitas dan pergerakannya kini terus dipantau oleh penegak hukum," kata Andi Rachman.