Oleh: Ina Salma Febriany
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Telah dekat kepada manusia dari menghisab segala amalan mereka sedang mereka dalam keadaan lalai lagi berpaling,” (Qs Al-Anbiya: 1)
Surah Al-Anbiya di atas diawali oleh satu petikan ayat yang mengingatkan kita kepada peristiwa mendatang yang pasti terjadi. Yaumul hisab atau hari perhitungan amal, digambarkan dalam Al-Quran akan terjadi secara tiba-tiba (baghtah) hingga peristiwa itu pun berat (tsaqulat) dilalui bagi seluruh makhluk langit dan bumi.
Yaumul hisab juga berarti hari diperhitungkannya semua amalan manusia selama di dunia tanpa ada satupun yang terlewat; seluruhnya terhitung dengan amat cepat dan sempurna.
Setelah Allah menghitung amalan manusia seluruhnya, manusia pun akan menerima buku catatan amal mereka dengan berbagi cara pula: ada yang menerima dengan tangan kanan yang menandakan ia ada di posisi aman, ada pula yang menerima dengan memalingkan tubuh (balik punggung) karena ketakutan bahkan ia berteriak, ‘Celakalah aku!’. Kejadian ini diuraikan Allah dalam surah Al-Insyiqaq ayat 7-11.
Begitulah, peristiwa yang kelak akan terjadi. Namun, pada hakikatnya, semua orang ingin masuk surga. Semua orang ingin merasakan kenikmatan yang kekal abadi itu, Bahkan, pelaku maksiat pun tahu bahwa perbuatannya hanya berujung pada kesengsaraan, tapi mereka tak segera bertaubat. Mengapa?
Hal itu terjadi— kata Imam Al Ghazali—karena kebodohan dan panjang angan-angan. Dia bodoh dan berangan-angan bahwa masih ada hidup di hari esok, bulan esok, tahun esok yang bisa ia gunakan untuk bertaubat. Satu hal yang tidak disadari ialah bahwa kematian telah mengintainya; siap atau tidak siap.
Menurut Imam Ghazali pula, dua penyebab panjang angan-angan adalah kebodohan dan cinta dunia. Adapun bodoh, yaitu bahwa kadang-kadang manusia menggantungkan diri kepada masa mudanya, ia memandang bahwa masa muda jauh dari kematian. Kadang-kadang pula ia merasa jauh dari kematian karena ia sehat, padahal kematian bisa datang kapan saja ; tak peduli seorang hamba sedang sakit atau sehat sekalipun.
Adapun cinta dunia, apabila hati seseorang cenderung mengikuti nafsu dan syahwatnya, kesenangan-kesenangan dan hubungannya dengan dunia sehingga hatinya berat berpisah dengannya dan menjadi penghalang untuk memikirkan kematian yang menjadi sebab perpisahannya. Jika seseorang mengingatkannya tentang kematian, maka ia benci dengannya.
Oleh karenannya, terapi terbaik untuk menyembuhkan panjang angan-angan adalah mencegah penyebabnya; yaitu menyadari kematian akan datang kapan saja ia datang menghampiri dan mencegah diri untuk tidak berlebihan mencintai dunia. Rasulullah Saw pun bersabda, “Cintailah sesuatu yang kamu cintai, tetapi kamu harus ingat bahwa kamu pasti akan berpisah dengannya,”.
Melalui sabda ini, Rasulullah mengininkan umatnya agar meyakini benar bahwa harta dan anak-anak yang kita miliki dan kumpulkan selama di dunia takkan pernah kekal. Ia akan pergi meninggalkan begitu ruh meninggalkan jasadnya. Berbuat baik dan senantiasa menyiapkan bekal menghadapi kematian –yang akan mendatangi kita kapan saja—adalah salah satu cara menghindari diri dari pedihnya kematian yang buruk (suul khatimah). Wallahu a’lam.