REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proyek 'Menjadi LGBT di Asia' yang diluncurkan United Nations Development Programme (UNDP), ternyata sudah berjalan di Indonesia.
Dalam situs resminya, terdapat laporan setebal 85 halaman yang berjudul “Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia”. Pada sampulnya, terdapat logo United States Agency International Development (USAID) dan UNDP.
Laporan tersebut ditulis oleh Dede Oetomo dan Khanis Suvianita, dibantu oleh Kevin Stevanus Senjaya Halim, Jamison Liang, Safir Soeparna, dan Luluk Surahman (LGBT Human Rights Officer di UNDP Indonesia). Secara keseluruhan, laporan ini merupakan hasil dokumentasi dan presentasi dari acara Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia, yang digelar pada 13-14 Juni 2013 lalu di Bali.
Acara tersebut menghadirkan 71 peserta dari 49 lembaga LGBT di Indonesia. Cakupan pembahasannya, yakni meningkatkan kapasitas komunitas-komunitas LGBT di Tanah Air dalam hal dialog kebijakan, mobilisasi masyarakat, serta stigma dan diskriminasi yang dihadapi.
Dalam laporan ini terungkap, pada 1960-an, pergerakan LGBT mulai berkembang di Indonesia, namun lebih dikenal sebagai kelompok waria. Mobilisasi pria gay dan wanita lesbian baru muncul kemudian pada 1980-an. Maraknya HIV/AIDS pada tahun 1990-an ternyata ikut mendorong mobilisasi pergerakan LGBT, sehingga pengorganisasian kian kuat.
Komunitas-komunitas LGBT menilai aturan hukum di Indonesia masih kurang menguntungkan buat mereka. Itulah alasannya mereka merasa perlu mengekspose isu LGBT di Indonesia ke tingkat internasional.
Mereka menuntut agar ada aturan hukum yang melegalkan kaum penyuka sesama jenis hidup berpasangan selayaknya keluarga normal. Penghalangnya, menurut mereka, ialah UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan. Kemudian, mereka juga mendesak agar ada aturan hukum yang memuat opsi selain “laki-laki” dan “perempuan” dalam kartu identitas penduduk (KTP). UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan dinilai tidak pro-gender.
“Walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik perkawinan maupun adopsi oleh orang LGBT tidak diperkenankan.”
“Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak memilih untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah dalam pengurusan dokumen identitas,” demikian kutipan dari Laporan LGBT Nasional Indonesia-Hidup Sebagai LGBT di Asia halaman 9-10.
Mereka juga menuding kepolisian telah gagal dalam melindungi kaum LGBT, khususnya dari “berbagai serangan oleh para aktivis Islamis garis keras dan preman”.