REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Papua Nugini (PNG) mengalami krisis keuangan uang tunai sehingga para anggota parlemen dan pegawai negeri tidak mendapat pembayaran gaji tepat waktu.
Data terbaru yang dikeluarkan Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan utang PNG lebih buruk dari yang diakui oleh pemerintah, dan pengeluaran permintaan terlalu besar. Data terbaru ini muncul di saat PNG sedang ingin menjadwal ulang utang satu miliar dolar ASyang diganti dengan 10 persen saham di perusahaan Oil Search milik PNG.
Utang tersebut akan berakhir akhir Februari. Sama seperti di banyak negara lain yang memiliki potensi mineral, pendapatan PNG sekarang merosot tajam karena rendahnya harga komoditi dunia saat ini.
Pemimpin Partai Oposisi di PNG Don Poyle mengatakan kepda program radio Pacific Beat ABC para anggota parlemen dan sedikitnya empat menteri belum sepenuhnya menerima gaji mereka. "Salah seorang menteri senior ini mengatakan kepada saya dia tidak dibayar penuh sejak September tahun lalu." kata Polye.
Terhentinya pendanaan dari pemerintah untuk berbagai sekolah dan pusat layanan kesehatan sudah mulai terjadi sejak September. Dalam anggaran 2016, utang publik mencapai 35 persen dari pendapatan kotor negara di 2015-2016. Ini belum termasuk utang oleh BUMN, pembayaran untuk dana pensiun, dan juga utang yang harus dibayar kepada Bank Investasi UBS untuk saham perusahaan Oil Search.
Menurut penghitungan sebuah badan pengkaji di Australia, Lowy Institute, bila semua utang itu dimasukkan maka jumlahnya adalah 56 persen dari GDP. Masalah lain yang juga dihadapi oleh PNG adalah Port Moresby akan menjadi tuan rumah pertemuan APEC di 2018, KTT yang akan dihadiri oleh sekitar 10 ribu orang.
Sekitar 1,4 miliar dolar Australia harus dikeluarkan untuk membangun berbagai prasana, keamanan dan yang lain. Padahal dana untuk layanan kesehatan di negara tersebut hanya 1,6 miliar dolar Australia.
Baca juga:
Hakim Perintahkan Apple Bongkar iPhone Penembak San Bernardino
Mantan Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali Meninggal