Ahad 28 Feb 2016 17:16 WIB

Sanksi terhadap Pelaku Mutilasi Masih 'Kabur'

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah
Korban mutilasi
Korban mutilasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Mutilasi menjadi masalah serius di negeri ini. Bukan hanya tipologi kejahatannya yang sadis, namun juga jumlah korbannya tak sedikit dan tak teridentifikasi.

Untuk itu, perlu upaya serius menangani kasus mutilasi. "Dalam perspektif hukum, sanksi yang dijatuhkan kepada tersangka kasus tindak pidana pembunuhan dengan mutilasi masih terbilang kabur atau sanksi yang dijatuhkan kerap kali berbeda-beda," ujar Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto kepada Republika.co.id, Ahad (28/2).

Menurut dia, KUHP tidak mengatur ketentuan khusus tentang tindak pidana mutilasi. Yang ada hanya tentang tindak pidana pembunuhan pada umumnya, sesuai yang diatur dalam Pasal 338 KUHP dan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Dalam konteks ini, kasus mutilasi disamakan dengan penanganan kasus pembunuhan biasa pada umumnya. 

Sementara itu, dia melanjtkan, UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, tidak mengenal terminologi mutilasi. Namun hanya mengenal terminologi mati (meninggal). "Padahal mutilasi dengan meninggal konteksnya berbeda," kata Susanto.  

Dari sisi ancaman pidana, pasal 338 KUHP menyatakan pidana penjara paling lama lima belas tahun, sedangkan dalam pasal 340 KUHP diancam pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Dalam praktiknya, Susanto mengataka, sangat jarang pelaku dijatuhkan hukuman mati. 

Menurut UU No 35 Tahun 2014, jika korban meninggal maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar, serta ditambah sepertiga apabila pelakunya orangtua. 

 

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement