REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cara penindakan dan pencegahan terorisme yang dilakukan Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) menjadi sorotan publik. Hal ini terjadi setelah terduga teroris dari Klaten, Jawa Tengah, Siyono (34) tewas pada Sabtu (12/3) lalu pascapenangkapan.
Pengamat terorisme Al Chaidar menilai audit serta evaluasi atas kinerja yang dilakukan oleh Densus 88 perlu dilakukan mengingat hal seperti itu mungkin terjadi karena ketidakprofesionalan aparat.
Dengan demikian, tidak ada lagi kasus terduga teroris yang tewas dan memunculkan opini masyarakat bahwa pasukan khusus tersebut bertindak sewenang-wenang serta menyalahi aturan hukum.
"Audit dan evaluasi terhadap Densus 88 perlu dilakukan sejak lama. Ini bukan terkait keberadaannya, tapi kinerja serta cara-cara yang mereka gunakan dalam menangani terorisme, karena keberadaannya tetap kita butuhkan," ujar Al Chaidar kepada Republika.co.id, Kamis (17/3).
Menurut pria yang merupakan lulusan fakultas Imu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (UI) itu, kasus yang terjadi pada Siyono memang bukan yang pertama kalinya terjadi. Padahal, jika petugas mengikuti peraturan yang berlaku dan sesuai dengan prosedur, maka hal tersebut hampir tidak mungkin terjadi.
"Dalam kasus Siyono, jelas sekali ada standard operating procedure (SOP) yang dilangar oleh petugas Densus 88 di lapangan. Karena dari keterangannya mengapa mereka harus menyerang korban saja seperti ada yang tidak masuk di akal," jelas Al Chaidar.
Baca juga, Keluarga Terduga Teroris Siyono Tuntut Keadilan.