Jumat 18 Mar 2016 14:03 WIB

DKI Jakarta Masuk Kategori Masalah Gizi Akut Kronis

Rep: Desy Susilawati/ Red: Andi Nur Aminah
Balita penderita gizi buruk
Foto: M Syakir/Republika
Balita penderita gizi buruk

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Anung Sugihartono, menyebutkan DKI Jakarta masuk dalam kategori masalah gizi akut kronis. Jakarta masuk kategori akut kronis itu karena prevalensi bayi dengan kondisi pendek mencapai 20 persen atau lebih dan prevalensi kurus 5 persen atau lebih.

Masalah gizi akut ini lebih disebabkan karena diare atau lingkungan yang buruk. Sedangkan masalah gizi kronis lebih kepada masalah yang sudah lama terjadi, misalnya bawaan lahir, tidak ada makanan dalam jangka panjang dan lainnya.

Untuk Jakarta, Anung mengatakan tantangannya banyak. Pertama masalah urbanisasi. Yang kedua masalah akses pangan itu sendiri. Misalnya mereka yang terdaftar keluarga miskin di daerah ketika masuk Jakarta tidak terdaftar lagi. "Ketiga adalah masalah kebijakan makro yang ada di Jakarta. Misalnya tidak semua bisa mengakses Kartu Jakarta Pintar atau Kartu Jakarta Sehat," kata Anung, Jumat (18/3).

Masalah gizi akut-kronis juga terjadi di hampir seluruh kabupaten kota di Indonesia. Dari data Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2015 saja, ditemukan dari 496 kabupaten kota yang dianalisa, sebanyak 404 di antaranya mengalami masalah gizi akut-kronis. Sebanyak 63 di antaranya akut, 20 kronis dan 9 di antaranya tidak ada masalah gizi.

Menurut Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes RI, Doddy Izwardy, karena sebagian besar dari kabupaten yang ada di Indonesia mempunya gizi yang bersifat akut-kronis, oleh akrena itu upaya perbaikan gizi bukan hanya yang bersifat spesifik, namun juga yang bersifat sensitif. 

Intervensi gizi spesifik (intervensi kesehatan) yaitu dengan upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan. 

Doddy menjelaskan kegiatannya antara lain berupa imunisasi, PMT ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di posyandu. Sasarannya adalah khusus kelompok 1.000 HPK (ibu hamil, ibu menyusui dan anak nol sampai 23 bulan).

Sedangkan intervensi yang bersifat sensitif (intervensi non kesehatan) adalah upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung. Bentukya bisa berupa berbagai kegiatan pembangunan pada umumnya non-kesehatan. 

Kegiatannya antara lain penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan, dan kesetaraan gender. Sasarannya adalah masyarakat umum, tidak khusus untuk 1.000 HPk. “Kontribusi intervensi spesifik terhadap penurunan masalah gizi hanya 30 persen. Sedangkan intervensi sensitif kontribusinya cukup besar yaitu 70 persen,” jelas Doddy.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement