REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajar Senior Viktimologi, HAM dan Kesejahteraan Sosial Fakutas Hukum UI Heru Susetyo menilai, pemerintah enggan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Selain memang ada kesulitan untuk menggelar pengadilan HAM karena sudah hilangnya bukti, saksi, korban dan pelaku.
“Ada dua hal unwilling (enggan) dan unable (tidak sanggup),” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (21/3).
Heru mengatakan dulu ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tapi komisi tersebut dibubarkan keputusan Mahmakamah Konstitusi.
Jika memang pemerintah ingin merekonsiliasi pelanggaran HAM masa lalu, maka pemerintah harus kembali menghidupkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tapi, menurut Heru untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu normalnya membawa pelaku ke pengadilan HAM.
Memang untuk beberapa kasus yang sudah terlampau jauh seperti peristiwa 1965, Malari, DII TII, atau Timor Leste proses penyelesainnya dilakukan dengan rekonsiliasi. Karena sulitnya mencari bukti, saksi, korban dan pelaku. “Mau mengadili siapa 65, Soeharto sudah meninggal, Banser-bansernya juga sudah mungkin banyak yang meninggal,” ucap Heru.
Rekonsiliasi menurut dia, tidak berarti melupakan kejahatan tapi hanya memaafkan. Karena itu membutuhkan kemauan pemerintah untuk menyelesaikannya. Ia menambahkan jika pemerintah ingin benar-benar menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, proses rekonsilasi benar-benar dilaksanakan.
“Rakyat jangan di PHP-in lagi, rakyat capek di PHP terus,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menyebutkan, perkara-perkara tersebut akan selesai pada Mei 2016.
"Sekarang sudah mau rampung. Kami harap, 2 Mei 2016 sudah bisa dituntaskan," ujar Luhut.