Jumat 01 Apr 2016 22:57 WIB

Ketua Bawaslu: Tidak Semua Pemilu Demokratis

Ketua KPU Husni Kamil Manik (kiri), Ketua Bawaslu Muhammad berbicara saat menggelar jumpa persnya terkait pelaksanaan Pilkada di Jakarta, Senin (15/2).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Ketua KPU Husni Kamil Manik (kiri), Ketua Bawaslu Muhammad berbicara saat menggelar jumpa persnya terkait pelaksanaan Pilkada di Jakarta, Senin (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nasrullah mengatakan bahwa tidak semua pemilihan umum yang dilakukan setiap negara berjalan demokratis.

"Semua negara mengklaim pemilunya demokratis, padahal belum tentu yang dihasilkan adalah (pemilihan) yang demokratis," ujar Nasrullah dalam diskusi politik di Universitas Negeri Jakarta, Jumat.

Dia menjelaskan, kenyataan yang menyimpang tersebut terjadi akibat adanya kesalahan paradigma dalam memandang arti pemilihan kepala daerah atau negara.

Menurut dia, apabila para peserta pemilu berpandangan bahwa pemilu untuk rakyat maka hal tersebut akan berdampak panjang terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

"Itu akan dinilai untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat," tukas Nasrullah menambahkan.

Akan tetapi yang terjadi saat ini justru terbalik, yakni "rakyat untuk pemilu", sehingga memunculkan kesan seolah-olah rakyat dilibatkan pada proses pemilu padahal sebenarnya tidak.

Apabila pandangan seperti ini dibiarkan, ujar Nasrullah melanjutkan, maka yang terjadi adalah stagnasi demokrasi dan menurunnya cita-cita dan tujuan masyarakat dalam bernegara.

"Rakyat hanya akan dimanfaatkan pada event pemilu, beda ceritanya jika yang dipakai 'pemilu untuk rakyat', pasti hasilnya positif," tuturnya menegaskan.

Banyaknya masyarakat atau rakyat kecil yang merasa terzalimi dengan kebijakan pejabat pemerintahan serta hak yang tidak diterima dengan layak merupakan dampak dari kondisi tersebut, kata Nasrullah melanjutkan.

Sehubungan dengan adanya isu politik uang yang kerap ramai saat musim pemilihan umum maupun kepala daerah, Nasrullah berpendapat bahwa penyelenggara pemilu tidak dapat disalahkan.

Menurut dia, yang patut menjadi sasaran kekecewaan masyarakat adalah peserta pemilu atau pilkada.

"Kalau penyelenggara memberi ke pemilih atau sebaliknya tidak mungkin, karena sama-sama tidak punya uang. Padahal kita ingin menghasilkan pemilu yang cerdas dan berintegritas," tuturnya.

sumber : antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ ۗاِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ
Dia (Syuaib) berkata, “Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.

(QS. Hud ayat 88)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement