REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menilai survei ketimpangan pendapatan yang dikutip ekonom Bank Dunia terlalu berlebihan. Meski begitu, ketimpangan yang terjadi harus ditangani dengan stimulus daya beli masyarakat.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengaku tidak tahu data hasil survei itu. ''Saya tidak tahu data tersebut dan metodenya. Namun rasanya overestimate,'' ungkap Sasmito dalam pesan singkatnya, Ahad (10/4).
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengakui memang ada ketimpangan dengan melihat adanya kenaikan GINI Ratio atau perbedaan antara pendapatan rendah dengan pendapatan tinggi dalam satu tahun terakhir ini. Pendapatan tidak merata, dan pengangguran bertambah.
Paket-paket ekonomi yang diterbitkan pun belum menyentuh level bawah. Sehingga ada ketimpangan pendapatan.
''Kita berharap bisa dilakukan terobosan untuk mencegah hal ini melebar. Salah satunya adalah stimulan daya beli bagi masyarakat kelas bawah. Agar terjadi keep buying strategy dan roda ekonomi bergerak,'' ungkap Dede.
Stimulus ini, lanjut Dede, bisa berupa bantuan tunai atau bisa pula berupa subsidi sembako. Intinya jangan sampai masyarakat mengalami kelebihan beban.
Mengutip data Lembaga Survei Indonesia, ekonom Bank Dunia menyebut ketimpangan di Indonesia sudah terlalu tinggi bahkan melebihi dugaan masyarakat. Dalam survei yang dilakukan LSI pada 2014 terhadap 3.000 responden, responden memperkirakan tingkat ketimpangan mencapai 38 persen. Padahal, tingkat ketimpangan yang sebenarnya mencapai 49 persen.