REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Krisis ekonomi dan persaingan pabrik-pabrik modern di Asia telah mengancam salah satu usaha pencelupan kain terakhir di Mesir. Para pemilik mengaku bangga dapat setia menjalankan warisan perdagangan kuno ini.
Salah satu pelaku usaha pencelupan kain, Mohamed Mostafa mengatakan usaha pencelupan kain tradisional berasal dari masa 3000 tahun lampau. Ia optimistis usaha pencelupan kain dapat bertahan melewati apapun. "Ini sakit, tapi tidak akan mati. Insya Allah dapat bertahan 100 tahun lagi," kata Mostafa, yang usaha pencelupan kainnya berdiri sejak 1901.
Dilansir dari Reuters, Ahad (10/4), Mostafa mengatakan, harga bahan baku telah melonjak sejak pemberontakan menggulingkan Presiden Hosni Mubarak pecah pada 2011. Pemberontakan ini telah memicu pergolakan politik dan kondisi ekonomi bertekuk lutut.
Sebelum hari-hari protes di Tahrir Square itu, bengkel kecil Mostafa paling tidak menghasilkan sekitar 700 pound Mesir dalam sepekan. Kini, pendapatannya jatuh di kisaran 400 pound. Naik turun nilai tukar terhadap dolar juga menimbulkan dampak pada usaha kecil.
Belum lagi, usaha ini harus menghadapi persaingan sengit dari pabrik-pabrik di negara-negara seperti India dan China. Kini, bengkel pencelupan kain Mostafa hanya mengandalkan dia beserta dua anak laki-lakinya. Jauh bila dibanding kondisi sebelum kejatuhan Husni Mubarak, ketika mereka memiliki sekitar 15 pekerja.
Usaha pencelupan kain telah dimulai sejak era Dinasti Pertama, 3100 tahun sebelum Masehi. Lahir pada 1937, Salama Mahmoud Salama, juga masih memancarkan kebanggaan di tengah kondisi sulit yang ia hadapi. Salama telah bergelut di bidang pencelupan kain selama 42 tahun.
Dengan bangga, ia mengisahkan para pelanggannya dari Kairo, Alexandria, dan Aswan. "Pada awalnya, Mesir melakukan perdagangan katun dan sutra. Sekarang mereka mengimpor sehingga industri lemah," ucap Salama.