REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penyanderaan 10 Warga Negara Indonesia (WNI) oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina tidak boleh dianggap sepele. Jika dibiarkan, hal tersebut menjadi preseden yang amat buruk bagi keamanan kawasan Asia Tenggara.
Masalahnya adalah saat ini Pemerintah Filipina belum mengizinkan Indonesia mengirimkan pasukan untuk membantu pelepasan sandera. Mereka beralasan bahwa menurut konstitusi Filipina 1987, pangkalan militer, pasukan, dan fasilitas militer asing tak diperbolehkan berada di Filipina.
"Dalam konteks hukum internasional sebenarnya sikap pemerintah Filipina tersebut masih bisa dinegosiasikan," ujar anggota Komisi III DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam siaran persnya, Kamis (14/4).
Politikus Gerindra tersebut mengatakan ada tiga hal yang bisa dijadikan alasan pelibatan Indonesia dalam pembebasan sandera. Pertama adalah kawasan hutan Tipo Tipo, Basilan memang secara de facto dikuasai oleh kelompok Abu Sayyaf sehingga pengiriman pasukan asing dalam hal ini Indonesia dapat disamakan dengan pengiriman ke daerah yang tidak ada kekuasaan seperti halnya Somalia.
Kedua, secara prinsip, kehadiran pasukan Indonesia adalah justru untuk membantu pemerintah dan Filipina menghadapi pemberontak separatis yang mengganggu keamanan. Sehingga pasukan Indonesia hadir di Filipina bukanlah sebagai musuh tetapi justru sebagai sahabat.
Ketiga, secara teknis, pasukan Indonesia akan berkoordinasi dengan militer Filipina dengan batasan waktu dan wilayah operasi yang sepesifik. "Kami berharap dalam waktu dekat ada perubahan sikap yang signifikan dari pemerintah Filipina karena waktu terus berjalan dan ancaman keselamatan bagi sandera kian hari kian besar," kata Dasco.
Sebagai negara sahabat, wajar jika kedua negara saling membantu. Filipina membantu menyelamatkan sandera WNI dan Indonesia membantu menghadapi pemberontak Abu Sayyaf.