REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Data Badan Pusat Statistik (BPS) selama ini sering digunakan pemerintah untuk mengambil kebijakan. Salah satunya menentukan impor produk pertanian. Namun, tak selamanya data BPS akurat.
"Misalnya ada panen raya kedelai di Aceh. Lalu kita datang ke Aceh. Estimasi dari BPS akan mendapatkan panen kedelai misalnya 1.000 atau 2.000 ton, tapi ternyata hasilnya hanya 20 ton," kata Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (Gakopindo) Aip Syarifuddin dalam keterangannya, Ahad (24/4).
Kondisi semacam itu, kata Aip, hampir terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Ia mencontohkan di Bantul, Grobogan, Sampang, Madura, Palembang, Lampung serta daerah lainnya yang menjadi sentra penghasil kedelai.
"Sudah beberapa daerah yang kami datangi, begitu juga teman-teman dari komisi (DPR). Hasilnya tidak sesuai dengan data yang disampaikan BPS atau Kementan," kata Aip.
Aip mengaku tak mengerti mengapa ada selisih antara data dan fakta yang ada di lapangan. Ia hanya diberitahu oleh pemerintah bahwa di daerah itu akan panen sekian ribu ton sehingga membuat pihaknya sering datang ke lokasi panen tersebut.
"Tapi fakta yang diberikan tidak benar. Soal mengapa hasilnya cuma segitu atau petani tidak menikmati, kami tidak tahu. Karena sebagai pembeli, kami hanya membeli barang yang ada," kata dia.
Tahun lalu kebutuhan kedelai nasional tercatat sebanyak 1,5 juta ton. Ketersediaan lahan yang digunakan untuk menanam kedelai makin sempit membuat suplai kedelai menjadi sangat sulit sehingga menyebabkan harga sering kali mengalami fluktuasi.
Saat ini, harga kedelai per kilogram mencapai Rp 6.100. Harga tersebut turun dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pada saat pembatasan impor kedelai dan jagung untuk pakan ternak pada pertengahan tahun lalu ternyata sempat membuat kenaikan harga kedelai.
Disinggung mengenai pembatasan impor kedelai, Aip meminta sebaiknya sebelum mengesahkan peraturan maka harus dipersiapkan dahulu instansi yang memegang kendali.
Dalam kebijakan impor tersebut, ia sangat berharap pemerintah jangan bersikap langsung bertindak berdasarkan data dengan akurasi yang dipertanyakan. ''Jangan dilupakan harus ada sinergi antara pemerintah, importir, serta pengusaha tahu dan tempe,'' ujarnya.